Kicauan Farhat Abbas dan Tanggapan Masyarakat

Masyarakat Indonesia sekarang tampaknya lebih pintar, lebih cerdas, dan lebih kreatif. Anda tentu sudah mendengar dan pernah membaca bagaimana Farhat Abbas berkicau via Twitter-nya @farhatabbaslaw yang bernada SARA (rasis) kepada Ahok (silakan klik: Okezone). 

Rasanya sudah tidak zamannya bicara hal seperti itu. Mari adu program kerja dan masyarakat yang menilai. Sama sekali bukan dengan cara menyerang hal-hal berbau SARA yang akan menimbulkan konflik atau menyindir hal-hal yang bersifat fisik. Kita bisa lihat saat kampanye putaran pilkada gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Bagaimana isu SARA, kekuatan koalisi parpol yang tak seimbang, toh... tidak berhasil mengalahkan koalisi Jokowi-Ahok dengan rakyat. Rakyat sudah cerdas menilai, mana yang baik, mana yang jujur, transparan, dan mana yang peduli pada rakyat (bukan hanya menjelang pemilu). 

Soal SARA, penulis setuju pada Babe Ridwan Saidi, budayawan Betawi  (silakan klik: Ridwan Saidi: Kita Tidak Bisa Memilih Terlahir Dari Suku Apa)

Penulis tidak akan membahas hal-hal ini lebih jauh. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengutip berbagai komentar yang beredar di dunia maya, yang menunjukkan cerdas dan kreatif-nya masyarakat kita sekarang.  

Kutipan yang penulis ambil adalah pendapat cerdas dan kreatif, jika Anda mampir ke situs atau blog yang penulis cantumkan sebagai sumber atau ke situs YouTube, komentar yang mencaci maki Farhat Abbas sangat banyaaak.

Di bawah ini ada kicauan Farhat Abbas dan di bawahnya ada kutipan pendapat masyarakat atas kicauan tersebut. Tulisan berwarna (selain hitam di posting ini merupakan links ke narasumber, silakan di-klik). Untuk memperbesar tampilan, silakan klik pada gambar. 

Selamat membaca dan menilai mana yang lebih cerdas dalam mengemukakan pendapat.
  


Farhat Abbas mencalonkan diri jadi Presiden (klik: Jika Gagal Jadi Presiden, Farhat Abbas Akan Maju Nyalon Jadi Bupati). Ini guyonan di dunia maya menanggapi pencalonannya sebagai Presiden. 


Untuk memperbesar tampilan, silakan klik pada gambar  
 


KPK larang pejabat memberi dan menerima parsel, tapi Jokowi memberi parsel kepada penjaga pintu air (klik: Kesalahan Jokowi-Ahok Versi Farhat Abbas)





Baca juga: Melihat Kreatif-nya Anak Bangsa

Jakarta Banjir, Ahok ke Mana???

Sejak Jakarta dilanda banjir besar (17-01-2013), di tayangan TV, penulis lebih banyak menyaksikan Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang muncul di pemberitaan. "Ehm... ke mana Ahok ya?" batin penulis. Tapi pikiran yang terlintas itu hilang begitu saja seiring waktu. Penulis lupa googling dan mencari tahu di mana keberadaan dan aktivitas Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok. 

Hari ini, secara tidak sengaja penulis menemukan jawaban, maka langsung saja penulis posting

Penulis menemukan tulisan ini di blog milik Pancasyah (agar tidak salah, penulis copy paste secara utuh dan di bawah penulis cantumkan links ke narasumbernya). 

Asli air mata penulis mengalir deras membaca kisah yang dirajut dari timeline Twitter @indahbeauty dimulai dari percakapannya dengan Janes. Juga mata penulis berkaca-kaca saat membaca (nyaris 300 pembaca yang ikut berkomentar). Selamat membaca...


Nggak lama setelah @janes_cs sharing tentang 100 Hari Jokowi, temannya yang juga reporter stasiun TV berita yang saat ini bertugas meliput Ahok selama menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI juga ikut berbagi cerita pengalamannya menjadi ‘follower’ Ahok. Berikut kisah dari @indahbeauty di timeline Twitternya yang diproteksi itu, dimulai dari percakapannya dengan Janes…



Baik Jokowi maupun Ahok, memang peduli ya, Janes, sama kuli tinta kayak kita. Kalau di Ahok, selalu ingatkan stafnya untuk kasih lunch buat wartawan. Bukannya kita kuli tinta yang nempel Ahok, ngeliput cuma buat dapat lunch. Tapi kepeduliannya itu, yang jarang kita temui di pejabat-pejabat lain. Poinnya, mereka anggap kita bukan sekadar pencari berita, tapi penghargaan mereka akan kerja keras kita dihargai. Boss tempat kita kerja aja, nggak segitu-gitunya merhatiin kita ya, Janes. *Peluk Jokowi-Ahok.*


Ahok juga suka marah-marah sama kepala dinas yang nggak becus. Tapi dia nggak ragu muji, sama kepala dinas yang sudah diomelin, terus balik kerja bagus.


Gue salut sama Jokowi-Ahok, yang bisa atasi banjir, padahal APBD belum ketok palu. Meski belum sempurna, ya tapi memang tidak ada sesuatu yang sempurna. Yang penting bagi Jokowi-Ahok, kerja buat masyarakat, yang untung harus masyarakat, bukan pemerintahnya yang untung. Itu kata Ahok, loh.


Kemarin seharian ngobrol sama Ahok. Salut, bagaimana dia kerahkan segala upaya untuk bantu evakuasi pengungsi. Ingat, dana APBD belum turun, loh! Ahok memang nggak bawa media saat mengungsikan 2000 warga dari waduk Pluit pakai kapal Dishub dan pinjam kapal pengusaha lewat laut. Yang utama saat itu bagi Ahok adalah bagaimana menyelamatkan nyawa warganya, bukan pemberitaan yang ujung-ujungnya nanti dikira pencitraan.


Kata Ahok, “bawa media dikira pencitraan. Nggak ada pemberitaan dikira nggak kerja.” Tapi pada tahu nggak, Ahok bantu evakuasi dari pagi sampai malam? Cuma mau nanya sama yang suka nyinyir (menyindir) sama Jokowi-Ahok, kalian mau nggak kerja keras buat warga seperti itu? Cuma mau nanya aja, sih.


Jadi Ahok cerita, pas Kamis, dia sampai Balai Kota, kondisi sudah banjir. Listrik mati, jadi dia disuruh Jokowi balik ke utara, pantau banjir. Sampai Pluit, kondisi banjir sudah tinggi. Dia pun kerahkan segala upaya, evakuasi warga waduk Pluit yang sudah terkepung banjir. Dengan bantuan kapal Dishub dan kapal-kapal pengusaha, tembok komplek Pantai Mutiara, dijebol buat mengangkut sekitar 2000 warga.


Hanya sekitar dua jam, warga-warga tersebut diangkut ke tempat yang lebih aman. Lalu Ahok juga cari pasir dan batu buat tanggul Laturharhary. Dalam kerjanya, Jokowi dan Ahok, memang membagi tugas. Ahok fokus ke banjir di Jakarta Barat dan Jakarta Utara.


Sejak banjir melanda daerah Pluit dan Muara Baru, Ahok keliling memohon warga untuk mau dievakuasi, mumpung air belum terlalu tinggi. Tapi warga banyak yang menolak, takut hartanya dijarah. Itu bikin Ahok kesal. Makanya dia ajak Wakapolda keliling untuk meyakinkan warga, bahwa aman. Tapi dasar warga bandel. Dan juga manja. Jadi kalau ada yang ngetweet, belum dapat bantuan jangan langsung percaya. Mereka rata-rata menolak dievakuasi. Alasannya, takut harta bendanya dijarah. Jadi mereka maunya relawan bolak-balik distribusi makanan sehari 3 kali. Tugas relawan ‘kan buat evakuasi warga. Bukan petugas delivery makanan. Makanya ada tempat pengungsian, biar diatur dengan baik. Kalau setiap hari relawan harus antar makanan ke warga yang bertahan di rumahnya, 3 kali sehari, terus bagaimana proses evakuasi warga? Makanya masyarakat, harus bisa diajak kerjasamanya. Nggak cuma kalian yang butuh bantuan. Masih banyak warga lain yang butuh. Sementara, sarana terbatas. Be wise, lah.


Jadi dari Kamis sampai Minggu, Ahok konsentrasi di daerah utara dan barat. Bahkan, mengajak warga Pluit untuk mau dipindahkan ke rusun yang disiapkan. Rusunnya nggak main-main, loh. Sudah full-furnished, mulai dari perabot sampai sembako, baju, dll. Pokoknya tinggal bawa badan aja. Artinya, pemerintah nggak main-main, ingin mensejahterakan warganya. Tapi kadang niat ini, dikritik sinis, sama orang-orang yang nggak paham.


Ahok pernah cerita, sebenarnya, dia bukannya marah-marah kalau ngomong. Sebagai orang pesisir, memang begitu cara dia bicara. Cuma orang suka salah tafsir.


Ahok juga ramah, baik sama kuli tinta, atau dengan siapa pun warga yang datang mengadu kepadanya. Buat dia, pelayanan masyarakat lebih penting. Ahok juga nggak kaku, kalau diajak foto-foto sama warga. Sama kayak Jokowi. Pokoknya orangnya menyenangkan dan pekerja keras.


Saya sering ikut pejabat, tapi saya kagum dengan Ahok dan Jokowi, yang punya komitmen besar untuk kesejahteraan masyarakat. Kata Ahok, kami kerja buat untung masyarakat, bukan untung pemerintahan. Yang penting masyarakat bisa hidup layak. Beda dengan pejabat lain, yang kadang menjaga jarak dengan kuli tinta kayak saya. Sejak mengikuti Ahok, nggak ada, tuh, jaim-jaiman.


Bahkan nggak jarang, kita diajak masuk ke ruangannya untuk lihat dia kerja. Pernah dia bongkar kulkasnya, dan ngobrol-ngobrol santai sama wartawan. Pokoknya membumi banget. Saya ngomong begini, bukan maksud apa-apa, tapi saya lihat bagaimana Ahok dan Jokowi, kerja keras benahi Ibukota.


Wartawan lantai 2, biasa kita sebut yang suka mengikuti Ahok, suka panggil Ahok “Daddy Bas” atau “Kokoh”.


Pembagian tugas Jokowi-Ahok, kalau Jokowi “blusukan”, Ahok lebih mengurus soal anggaran. Dan bagaimana caranya bisa melakukan penghematan. Dan nantinya, uang penghematan itu, bisa dialokasikan ke program-program yang lebih bermanfaat buat masyarakat. Seperti KJP, KJS, dll. Dan kalian tahu nggak, sih, kalau sampai sekarang RAPBD belum diketok palu? Artinya anggaran belum keluar. Pernah tanya nggak, bagaimana pajak online bisa jalan? Terus integrasi bus sedang bisa jalan, banjir kemarin, meski belum sempurna, tapi lumayan, lah… Ingat, loh, anggaran belum ada. Itulah hebatnya Jokowi-Ahok, yang bisa lakukan berbagai upaya, meski anggaran belum turun.


Saat ditanya, siapa yang harus disalahkan banjir di Jakarta. Dengan tegas dan besar hati, Ahok bilang, itu salah pemimpin Jakarta, yaitu Jokowi-Ahok. Kata Ahok, sejak hari pertama dilantik, bila ada kesalahan anak buah atau apa pun, itu tanggung jawab pemimpin. Mana ada coba pemimpin yang mau mengakui kesalahannya, meski belum tentu itu kesalahan mereka. So gentleman.


Buat Daddy Bas dan Oom Jokowi, selamat 100 hari kepemimpinan. Setia dengan komitmen awal dan jangan terlena. Semangat!!!


Oh ya, tempo hari Ahok mengundang wartawan makan siang bersama. Dia meminta kritikan dan masukan dari kami tentang hasil kerja mereka. Ahok juga minta kita kasih informasi fakta di lapangan, yang mungkin luput dari perhatian mereka. Ahok sangat terbuka dengan segala kritik dan masukan. Bagi Ahok, menjadi Wagub bukan sekadar jabatan, tapi amanah menjadi pelayan masyarakat yang baik, agar masyarakat sejahtera dan hidup lebih layak.


Perjalanan Jokowi-Ahok masih panjang, masyarakat tetap harus kritis dan mengontrol kepemimpinan mereka. Agar tetap pada komiten awal.


Oh iya satu lagi, Ahok itu punya kakak muslim dan kyai, loh… Jadi yang suka pakai SARA buat menyerang Ahok, be wise, lah…


Banyak cerita tentang Ahok, tapi sudah ngantuk. Besok harus jagain Kokoh (Ahok) lagi. Nite


Terima kasih untuk sharingnya, Kak Indah. Ditunggu cerita-cerita lainnya tentang pasangan Jokowi dan Ahok.


*Tweet dirangkum dari timeline @indahbeauty mulai pukul 9:03 PM – 22 Jan 13 sampai 12:05 AM – 23 Jan 13.*



**edited at 12:37PM January 24, 2013.**

Informasi tambahan berupa video dari channel PemprovDKI di Youtube: “21 Jan 2013 Wagub Bpk. Basuki T. Purnama meninjau pengungsian di Pluit dan Rusun Marunda.”

**edited at 22:04PM January 25, 2013.** Untuk yang bertanya-tanya dapat dari mana pasangan ini dana untuk menanggulangi banjir Jakarta 2013 padahal dana APBD belum turun. Jawabannya dari CSR  Swasta dan kantong Pak Jokowi sendiri. Salah satu telco kuning menyumbang Rp2miliar. Salah satu bank menyumbang Rp7miliar. Tapi Pak Jokowi minta bantuan hanya dalam bentuk barang, bukan tunai. Ditambah dana APBN juga turun Rp2triliun. Demikian.
 

Sumber: Pancasyah

Dahlan, Anas, Rasyid, Afriani


Dalam waktu tidak terlalu lama, ada 2 kejadian yang "mirip" dengan kejadian lama tapi menurut masyarakat mendapat perlakuan berbeda dari pihak kepolisian.

Kasus Dahlan Iskan yang menggunakan nomor polisi palsu untuk mobil Tuxuci dibandingkan dengan kasus mobil Anas Urbaningrum yang juga menggunakan nomor palsu.

Lalu ada tabrakan Rashid Amirullah Rajasa dibandingkan Afriani Susanti. Silakan klik tulisan berwarna untuk membaca beritanya.




Baca komentar: 

Neta S. Pane (Ketua Presidium Indonesia Police Watch/ IPW)


Ini sepotong komentar masyarakat pembaca berita 
(klik pada gambar untuk memperbesar tampilan):









Liburan ke Yogya (3): Selalu Bertemu Orang yang Sama

Liburan ke Yogya (24-27 Desember 2012) diwarnai peristiwa unik. Bagi penulis, ini hal langka, namun ini benar-benar terjadi.

Saat berangkat dengan kereta Argo Wilis dari Bandung, kami duduk di gerbong 3 nomor kursi 6CD dan 7 CD (4 tempat duduk saling berhadapan). Dalam perjalanan ke Yogya yang memakan waktu sekitar 7 jam, kami tentu melihat sekilas ke penumpang lain. Penumpang di seberang kami, penumpang satu gerbong yang kami lewati jika hendak ke toilet. 

Hari pertama kami berkunjung ke Candi Borobudur, kami bertemu dengan satu keluarga yang duduk pas berseberangan dengan kursi kami saat di kereta api Argo Wilis. Mereka juga berempat. Bedanya penulis (suami istri dan 2 putra), keluarga yang duduk di seberang kami suami istri dan 2 putri. Itu penulis lihat di tingkat pertama Candi Borobudur. Saat naik lagi dan berfoto-foto, lewat lagi mereka sekeluarga. Penasaran, penulis sapa. "Pak, ketemu lagi. Masih ingat nggak? Kita satu kereta dari Bandung." "Oh ya..." kata Bapak itu sambil tersenyum.

Hari kedua, kami ke Keraton, sekali lagi kami juga ketemu keluarga itu. "Pak, ketemu lagi..." sapa penulis. Ia tertawa. Akhirnya kami berkenalan, namanya Pak Alwin (jika tak salah dengar). "Saya Hendry" penulis memperkenalkan diri. "Aneh ya, di kereta api kita ketemu, kemarin di Candi Borobudur kita ketemu, di sini (Keraton) kita juga ketemu" kata penulis. "Kapan pulang Pak?" tanya Pak Alwin. "Kamis, 27 Desember 2012" jawab penulis. Dia tertawa, "Sama lagi Pak" katanya.

Dan pada Kamis, 27 Desember 2012 kami  sudah duduk di peron Stasiun Tugu, dan benar saja Pak Alwin sekeluarga lewat di depan kami dan tersenyum.
  
Bisa 4 kali bertemu tanpa perjanjian rasanya memang aneh. Di kota yang sama, selama sekian tahun, penulis hampir tidak pernah bertemu dengan seorang teman di mal yang sama 2 kali atau lebih. Padahal hampir tiap minggu penulis dan keluarga main ke mal. 

Kalau dihitung pakai teori probabilitas, kemungkinan pertemuan seperti itu kecil sekali prosentase-nya. Bahkan kita yang sama-sama di mal yang sama, pada hari yang sama, waktu yang sama, belum tentu kita ketemu. Bisa saja saat kita di lantai satu, teman kita di lantai dua. Atau kita sama-sama di satu lantai yang sama, kita masuk ke toko A, dia melintas di depan toko tersebut dan kita tak saling tatap muka. Ya 'kan?

Dan serba kebetulan hal ini akan jadi "semakin lengkap" jika kebetulan Pak Alwin juga suka online, lalu browsing, dan akhirnya menemukan tulisan ini. Penulis tidak pernah memberitahukan alamat blog ini dan juga tidak pernah cerita bahwa kisah ini akan penulis muat di blog. Siapa tahu...?

Kalau ya, silakan tinggalkan komentar di bawah ini Pak Alwin...

Liburan ke Yogya (2): Keraton Yogyakarta

Rabu, 26 Desember 2012 dari hotel di jalan Dagen kami menuju ke Keraton Yogyakarta. Tiket masuk hanya Rp 5.000 per orang. Dan untuk yang membawa kamera, dikenakan tambahan Rp 1.000 (izin untuk memotret).

Ada banyak pemandu untuk wisatawan, bisa dalam bahasa Jawa, Indonesia, juga bahasa Inggris, Belanda, dan lainnya. Pemandunya resmi dan berseragam. Koleksinya banyak sekali, dan hanya di beberapa tempat yang dilarang berfoto. Para pemandu memang sudah disiapkan dan berseragam. Anda tidak dikenakan biaya lagi karena Rp 5.000 itu sudah termasuk biaya pemandu wisata. Anda ingin keliling dan melihat-lihat sendiri pun tidak masalah. Anda bebas mau masuk ke gedung sebelah mana dulu dan mau berfoto di mana.

Penulis sekeluarga berfoto di banyak tempat dan memotret beberapa koleksi yang menarik di mata penulis. Penulis juga berfoto dengan salah seorang abdi dalem keraton serta memotret para abdi dalem yang sedang duduk santai. 

Setelah puas melihat suasana Keraton, ngobrol dengan salah satu pemandu di sana, dan puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Sari (tempat pemandian raja dan permaisuri Keraton).


Taman Sari

Tiket masuk Rp 3.000 per orang. Di sini tidak ada pemandu, jadi harap Anda berhati-hati. Sebaiknya jangan hiraukan orang yang "berbaik hati" menawarkan jadi pemandu. Kalau Anda ikut, di akhir kunjungan Anda dimintai uang tips. Satu hal lagi yang membuat tidak nyaman adalah pemandu wisata nyerocos terus tentang sejarah Taman Sari dan Anda tidak leluasa mau foto di tempat yang Anda suka. Selesai menerangkan satu tempat, dia akan mengajak Anda ke ruangan lain. Anda tidak bebas mau bersantai di mana, mau foto di mana. Pemandu tentu ingin cepat-cepat selesai, terima tips, lalu cari wisatawan lain.


Kota Gede
Lanjut ke kawasan Kota Gede yang terkenal dengan aneka kerajinan peraknya. Kami hanya window shopping. Kami bukan kolektor dan juga di rumah kami tidak ada tempat untuk menaruh pajangan berupa miniatur dan perhiasan lain yang harganya berjuta-juta.

Makan siang di sebuah rumah makan di jalan Parangtritis Km7. Lanjutkan perjalanan menuju Pantai Parangtritis. Ehm... sepanjang perjalanan penulis sering melihat tulisan Paris untuk menamakan toko atau  yang lain. Setelah berpikir sejenak, oh...jadi Parangtritis disingkat Paris. Ehm... jadi Bandung yang dapat sebutan Paris van Java punya saudara kembar juga di Jawa Tengah, Paris van Java = Parangtritis.

 
Pantai Parangtritis
Ehm... ini yang jadi favorit. Bermain pasir dan ombak di tepi Pantai Parangtritis. Tiket masuk Rp 5.000 (tiket masuk Rp 4.750 plus Rp 250 premi asuransi Jasa Raharja Putera) dan kendaraan Rp 10.000.    

Sewa tikar untuk duduk santai di pantai lalu bermain air laut dan pasir. Dan tak lupa berfoto, buat video serta mengambil pasir sebagai kenang-kenangan. Jika dibandingkan dengan Pantai Pangandaran, kami masih lebih suka Pangandaran.

Selesai main di pantai, makan, lalu mencari oleh-oleh lagi: bakpia pathok. Selesai belanja oleh-oleh, kami balik ke hotel. Pesan makanan di rumah makan di jalan Dagen untuk diantar ke hotel.

Beres-beres karena besok sudah harus kembali ke Bandung dengan kereta Argo Wilis. Sampai jumpa lagi Yogya... 


Catatan: Fotonya menyusul

Liburan ke Yogya (1): Candi Borobudur

Jauh hari sebelum berangkat, kami sudah pesan tiket pergi maupun pulang. Naik kereta api Argo Wilis dengan harga lumayan karena memang tarif liburan. Berangkat Rp 285.000, pulang tiket-nya Rp 350.000/ orang. Sudah pesan hotel, sudah booking untuk 3 hari (check in 24, check out 27 Desember 2012). Juga pesan mobil rental untuk 2 hari (25-26 Desember 2012).

Singkat cerita kami sampai Yogya, naik taksi langsung ke hotel di jalan Dagen (cukup jalan kaki kalau mau melihat salah satu "jantung Yogyakarta" yakni jalan Malioboro. Itu salah satu alasan kami memilih hotel tersebut, setelah browsing

Habis mandi, kami sempatkan jalan kaki ke Malioboro. Makan di sebuah rumah makan lesehan di jalan Dagen. Selesai makan kami berjalan kaki menyusuri jalan Dagen. Di ujung jalan Dagen yang bertemu dengan jalan Malioboro, ada penjual kaos kaki lima. Ehm... kaos murah meriah dengan sablonan mirip kaos  Dagadu (ya kayak Jogger kalau di Bali). Cuma Rp 15.000 per potong! Kualitas? Ya, sesuai harga-lah.

Toko batik juga banyak sekali. Harganya untuk ukuran orang asal Bandung, murah-murah. Juga ada musisi jalanan sedang beraksi (jadi ingat lagu Yogyakarta-nya KLa Project). Mereka memainkan aneka lagu di trotoar jalan, yang terhibur silakan memberikan recehan ke mereka. Di sini juga banyak delman. Buat wisatawan yang ingin mencoba keliling Yogya dengan delman.  

Kami sempatkan mampir ke mal yang ada di kawasan Malioboro. Melihat-lihat suasana jalan Malioboro yang jadi salah satu ciri khas kota Yogyakarta. Setelah capek, balik ke hotel. Santai sejenak, nonton TV channel luar, lalu tidur.


Candi Borobudur
Pagi-pagi kami sudah bangun, mandi, sarapan di coffee shop lalu menunggu Avanza Veloz 2012 menjemput kami. Begitu datang, langsung tancap gas ke Candi Borobudur. Tempat yang selama ini jadi impian, akhirnya jadi kenyataan. 

Wuah... ramai sekali (maklum musim liburan). Dari pintu masuk menuju ke candi, kami pilih naik mobil (simpan tenaga untuk mendaki ke puncak Candi Borobudur). Tiket masuk Rp 30.000 dan tiket untuk mobil yang mengantar dari pintu gerbang ke pelataran candi Rp 5.000 per orang. Setiap membeli 1 tiket, kita juga mendapat 1 botol air mineral 330 ml bermerek Borobudur (lumayan buat kolektor botol air mineral).

Capek juga naik sampai ke puncak karena dari 1 anak tangga ke anak tangga berikutnya lumayan tinggi. Ditambah lagi, cuacanya panas terik (khususnya buat kami yang berasal dari Bandung), membuat keringat bercucuran. Setiap lantai penulis sempatkan untuk keliling dan mengagumi keindahan peninggalan bersejarah yang sangat menakjubkan ini. Kalau ke Yogya lagi, Candi Borobudur pasti akan jadi tempat wajib untuk dikunjungi. 

Di sini banyak sekali penjaja cindera mata/ souvenir, baik berupa gantungan kunci berbentuk stupa candi, segala asesoris bernuansa Borobudur, juga ada replika stupa Borobudur, patung Buddha, kaos dan lain-lain. Tips untuk Anda, bersabarlah sejenak menaha keinginan Anda untuk membeli. Ya, mungkin sekedar menoleh kepada yang menawarkan dagangannya kepada Anda. Mereka dengan sendirinya akan menurunkan harga agar Anda berminat. Sebuah kaos yang semula ditawarkan Rp 25.000 tanpa kami tawar akhirnya turun hingga 7 potong Rp 100.000!

Dari Borobudur menuju Candi Prambanan. Sayangnya kelamaan di Borobudur, Candi Prambanan sudah tutup. Kami berfoto dari luar saja dengan latar belakang Candi Prambanan. 

Kemudian kami menuju museum Ullen Sentalu. Tak banyak yang dapat penulis promosikan dari Museum Ullen Sentalu ini. Mungkin kami datang bukan saat yang tepat? Jaraknya jauh dari kota (daerah Kaliurang). Saat kami tiba, hujan dan langit gelap. Turun dari mobil menuju loket tiket kehujanan. Tempat menunggu masuk ke museum gelap. Sebelum mulai perjalanan melihat koleksi museum sudah diwanti-wanti sama pemandu-nya bahwa sebagian besar koleksi yang ada tidak boleh difoto (juga tidak boleh berfoto karena koleksi juga terfoto dong).

Jalan yang menghubungkan satu ruangan ke ruangan lain ternyata ruang terbuka. Jadi serombongan (sekitar 20 orang) harus berbasah-basah setiap pindah ruangan. Pemandu-nya memakai jas hujan, kami menutupi kepala seadanya. Yang bawa payung pakai payung dan topi sedikit lebih beruntung. Yang tak bawa? Terpaksa menutupi kepala dengan kertas, jaket, atau telapak tangan. Semestinya museum ini menyediakan payung untuk pengunjungnya. Kami khawatir 2 putra kami sakit (masuk angin), bisa kacau agenda liburan di Yogya. Di akhir kunjungan, pengunjung diberi segelas (menurut penulis: setengah gelas) minuman istimewa.

Dengan tiket Rp 25.000/ orang untuk dewasa dan Rp 15.000/ orang untuk anak-anak, rasanya sangat jauh dibanding dengan Keraton yang hanya mematok Rp 5.000/ orang. 

Satu-satunya yang penulis ingat hanya bertemu Eross Candra (gitaris Sheila on 7) yang sedang menggendong anaknya. Pengunjung yang mengetahui kehadiran Eross langsung minta foto bersama.


Oleh-Oleh
Dari museum, kami keliling mencari oleh-oleh. Kami melewati jalan Ngasem, kawasan yang menjual kaos (T'shirt) mirip Dagadu. Ada yang memakai nama Dagadu, Jogker Dagadu. Menikmati suasana sore menjelang malam kota Yogya sepanjang perjalanan menuju hotel. 

Setelah mandi, kami jalan kaki ke Malioboro. Kami ingin menikmati makan malam suasana khas Yogya (lesehan jalan Malioboro, depan DPRD Yogyakarta). Bagaimana rasanya?  Biasa saja, tidak ada yang istimewa. Yang istimewa justru sambel dan lalap. Kalau di Bandung, beli ayam bakar dapat lalap dan sambal gratis (sama halnya dengan pecel lele), ehm... di sini ternyata "jebakan." Anda harus bayar sambal dan lalap! Kreatif...!  

Bila makan lesehan di Malioboro, sebaiknya siapkan uang receh di atas meja karena banyak pengamen yang menjajakan suaranya. Tangan dalam keadaan kotor tentu susah merogoh kantong ataupun dompet untuk memberikan uang ke pengamen. Sayangnya, saat kami makan, suara yang ngamen tidak bagus (biasa-biasa saja)

Selesai makan, jalan-jalan seputar Malioboro lalu balik ke hotel, lalu tidur. Siap untuk petualangan hari ke-2.



Catatan: 
Foto akan menyusul.

Sosok Inspiratif: Inaki Azkuna, Walikota Terbaik di Dunia



Nama Inaki Azkuna sontak menjadi sorotan sejagat hari ini setelah situs worldmayor.com mengumumkan, Selasa (8/1), dia berada di peringkat pertama wali kota terbaik sejagat. Dia menyisihkan 25 finalis lain, termasuk Joko Widodo asal Indonesia.

Sejak terpilih pada 1999 Azkuna mengawal perubahan di Kota Bilbao, Spanyol, dari pusat industri berkembang menjadi pariwisata dan seni. Museum Guggenheim salah satu prestasi terbesar lelaki 70 tahun ini hingga tempat itu banyak dikunjungi pelancong berbagai negara dan mendatangkan pemasukan untuk warganya.

Azkuna bertaruh untuk menghabiskan dana pemerintah hampir Rp 2,2 triliun demi merenovasi museum hampir tewas itu dan yakin suatu hari nanti tempat itu bakal menjadi pusat budaya dunia. Mimpinya berhasil. Kekayaan tradisi dan sejarah Spanyol seluruhnya lengkap berada di museum itu dan menjadi rujukan ahli sejarah yang hendak napak tilas di Negeri Matador.

Tak hanya itu, Bilbao juga kota bebas hutang pada negara dalam pembangunannya. Keberhasilan Azkuna mengajak warganya untuk mengembangkan pariwisata membuat penduduk Bilbao sukses membayar lunas pinjaman mereka pada pemerintah Spanyol dua tahun lalu. Alhasil kota itu hanya kena utang baru untuk proyek mendatang.

Korupsi hampir berada di titik nol. Panitia administrasi wali kota sangat transparan dan terbuka dalam menyusun anggaran pembangunan daerah. Bilbao juga menjadi tempat paling bebas polusi di muka bumi lantaran semua industri dan pabrik nyaris menghilang.

Azkuna mengawal kotanya pertama kali tidak dengan mulus. Banjir besar pernah menghantam sebagian besar wilayah Bilbao pada awal dia terpilih dan banyak menghancurkan sektor-sektor penting. Tempat itu nyaris terkena krisis ekonomi. Namun semua dihadapinya dengan kerja keras membangun Bilbao hingga menjadi salah satu corong dan contoh kota terbaik di Eropa.


Copy paste dari berita di Merdeka

Kacang Lupa Pada Kulitnya

Anda tentu sering mendengar istilah "Kacang lupa pada kulitnya." Ungkapan untuk seseorang yang tak tahu balas budi. Sudah ditolong, lupa kepada yang menolong. Bahkan terkadang seperti "Menolong anjing yang terjepit, setelah anjing terlepas dari jepitan, malah menggigit yang menolongnya." 

Penulis pernah mengalami hal yang sama dengan istilah kacang lupa pada kulitnya. Seorang rekan penulis yang sangat doyan sambal, sebut saja Micin. Ketika si Micin sedang terpuruk, dengan mengiba  Micin datang dan minta bantuan. "Rekening listrik di rumah belum dibayar. Jika tidak dibayar, maka aliran listrik dipadamkan" kata Micin.

Sebagai teman, penulis berikan pinjaman. Singkat cerita, masalahnya terselesaikan. Di lain waktu, penulis minta bantuan pada Micin. Penulis harus menjaga istri yang melahirkan di rumah sakit, penulis minta bantuannya menjaga rumah penulis (tahun 2006). Micin sekeluarga kami minta tinggal di rumah kami. Soal makan dan keperluan lain Micin, istri dan 3 anaknya kami tanggung. Fasilitas rumah kami jelas lebih baik daripada fasilitas di rumah Micin. Sehari kami bayar Rp 50.000. Micin dan keluarga bersedia. 

Di saat lain, penulis perlu bantuan yang sama. Kali ini penulis sekeluarga harus menjaga anak kami yang dirawat inap di Jakarta (masih di tahun yang sama, 2006). Tapi karena dana kami minim, kami hanya bisa kasih Rp 25.000 sehari (fasilitas makan dan yang lain sama). Apa jawabannya? Micin menolak. 

Ternyata, saat pertama menerima tawaran penulis (dibayar Rp 50.000 Micin bersedia karena setuju dengan bayarannya, tapi pada permintaan kedua, Micin menolak ketika tahu bayaran Rp 25.000)! 

Yang menyakitkan penulis, kami sebut minta bantuan (tapi sebenarnya kami bayar, bukan bantuan GRATIS). Lagi pula, kami minta Micin sekeluarga jaga rumah bukan dalam rangka berlibur. Ini terjadi saat anak kami sakit. Penulis benar-benar tidak menyangka sikap Micin yang selama ini penulis kenal baik dan santun.

Padahal, sebelum penulis menikah (penulis pernah main ke rumahnya yang dindingnya masih berupa batu bata tanpa diplester) dan menginap di sana. Besoknya hari ulang tahun anaknya dan penulis tampil bermain sulap, GRATIS.

Yah... inilah dunia, beginilah kehidupan. Memang sangat sukar mencari seorang sahabat sejati di dunia ini. Sebuah pelajaran berharga dalam menjalin persahabatan. Sekolah kehidupan memang tidak pernah selesai.

abcs