Begitu Sulitkah untuk TIDAK KORUPSI???

Banyak sekali koruptor di negeri ini yang tertangkap. Mungkin masih banyak juga yang tak tertangkap (mungkin karena nilainya mungkin dianggap terlalu kecil atau justru sangat besar dan dilakukan orang yang berkuasa). Pelakunya juga beragam, dari pegawai rendahan, sampai pejabat tinggi.

Nah... yang jadi pertanyaan, begitu sulitkah untuk TIDAK KORUPSI???

Menurut logika berpikir penulis, menjalankan tugas dengan jujur (TIDAK KORUPSI), jauh lebih mudah daripada KORUPSI. Benarkah???

  1. Tinggal Jalankan. Menjalankan tugas secara jujur, hanya menjalankan apa yang diamanatkan undang-undang. Semua sudah diatur. Ibarat Anda membeli ponsel, buku panduannnya sudah ada. Tinggal baca dan praktikkan. Apa yang sulit? Jika untuk membuat KTP (ini hanya misalnya lho...), misalkan biayanya hanya Rp 5.000 lalu syaratnya hanya akte kelahiran asli dan foto copy, selesai maksimal 2 hari. Petugas hanya perlu memasang banner besar di kantor kelurahan, masyarakat baca dan datang dengan persyaratan yang ada. Syarat lengkap, kerjakan, beres. Apa yang sulit??? 
  2. Berbohong & Mempersulit. Bagi yang ingin KORUPSI, jelas tidak semudah untuk TIDAK KORUPSI. Mengapa? Jika ingin jujur TIDAK KORUPSI), tinggal jalankan saja, kalang ingin KORUPSI tentu perlu persiapan. Apa persiapannya? Berbobong! Jika warga tanya apa syaratnya, pegawai yang ingin KORUPSI mulai mengarang (berbohong). Syaratnya ditambah-tambah: akte kelahiran orangtua, surat nikah orangtua, surat kewarganegaraan, dan lain-lain. Anda tidak punya (kurang lengkap)? Tiap kekurangan bisa dinegosiasikan, makin banyak kekurangan, makin besar "uang damai" yang harus dibayarkan. Intinya membuat hal yang akan dikerjakan jadi sulit (mempersulit). Cari tahu ke loket atau ruangan mana atau  bagian mana untuk mengurus dokumen pun terkadang tidak mudah (dipingpong ke sana ke mari).  Tidak hanya itu, terkadang berbohong tentang apa pun. Petugas berwenang sedang tidak ada di tempat, blangkonya habis, dan lain-lain... Biaya resmi pun akan ditambahkan sekian rupiah. Ingat, jika "Anda bermain sendiri" risiko ketahuan akan sangat besar. Makanya "biaya siluman" harus besar untuk dibagikan merata dari bawah hingga atas supaya saling tutup mulut. Ingatlah, sebuah kebohongan akan diikuti dengan kebohongan-kebohongan lain. Selain itu, yang KORUPSI harus pintar berbohong saat nanti diselidiki KPK. Perlu pintar menyiapkan alasan agar tak tertangkap KPK. Ini menjadikan KORUPSI itu jauh lebih sulit daripada JUJUR (TIDAK KORUPSI) yang tinggal menjalankan semua yang sudah diatur undang-undang.

Sebenarnya (menurut penulis) mengurus dokumen apa pun tak ada yang sulit (kecuali dipersulit). Jika Anda kaya raya (punya banyak warisan tapi Anda tidak pernah sekolah dan  buta huruf), Anda ingin liburan ke luar negeri, sulitkah membuat paspor? Rasanya tidak ada yang sulit. Hanya siapkan persyaratan yang diperlukan, datang ke kantor Imigrasi, ikuti prosedur, selesai. Rasanya tidak ada yang sulit. Anda tidak dites kemampuan berbahasa Inggris karena ingin ke luar negeri. Anda tidak dites IQ (apakah IQ Anda masuk kategori yang dipersyaratkan)? Anda tidak ditanya negara yang Anda tuju berada di sebelah mana Indonesia dan berapa koordinatnya? Apakah Anda dalam kondisi sehat? Bukankah justru banyak yang dalam keadaan sakit parah mau ke luar negeri untuk berobat.

Anda punya dokumen, datang ke kantor Imigrasi, Anda bayar biaya sesuai ketentuan, selesai. Anda buta huruf tidak masalah, Anda tak bisa berbahasa Inggris tak masalah (Anda bisa bawa dan bayar penerjemah), Anda tak hafal jalan-jalan di negara tujuan (Anda bisa bayar pemandu wisata), Anda (maaf) idiot pun tak masalah (asal ada uang dan ada yang menemani Anda berwisata). Anda tidak bisa berjalan (mungkin lumpuh) atau terbaring sakit pun tidak masalah, asal ada suster, perawat, a tau bahkan dokter yang menemani. 

Rasanya tidak ada proses yang sulit (malah lebih sulit UMPTN = Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau wawancara untuk kerja) daripada urus dokumen apa pun. Yang penting ikuti prosedur yang sudah ditetapkan. Jika selama ini sulit? Rasanya itu lebih karena memang dipersulit. Peraturan/ undang-undang dibuat tentu sudah memikirkan apakah nantinya persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh calon yang mengajukan permohonan.

Lantas mengapa ada biro jasa (termasuk para calo) untuk mengurus segala macam dokumen jika sebenarnya semuanya seharusnya mudah??? Apakah memang banyak yang sengaja mempersulit atau saking sibuknya seseorang, mereka rela bayar uang dengan jumlah beberapa kali lipat ke biro jasa untuk menguruskan dokumen yang sebenarnya sangat mudah untuk diurus dan tidak bertele-tele??? Entahlah...


NB:
Ini pengalaman seorang teman, sebut saja namanya Ronny. Dulu, sebagai cucu tertua, Ronny dapat tugas menjaga beberapa sepupunya saat berlibur ke Singapura. Ronny pun buat paspor. Ternyata menurut petugas di kantor imigrasi ada persyaratan yang kurang dan ia harus kembali ke Cirebon (karena dokumen-nya ada di rumahnya di Cirebon). Saat cerita ke penulis, Ronny bilang dulu dia masih lugu banget. Dia pikir apa yang ada di dunia nyata, sama seperti yang dipelajari di sekolah. Besok sudah harus berangkat, hari ini paspor belum selesai. Wah gagal berangkat nih pikirnya. Dia sudah coba minta kebijakan pada petugas, tapi tetap saja kata petugas, tanpa dokumen tersebut tidak bisa buat paspor.

Saat akan keluar dari kantor imigrasi, ada yang mendekati Ronny (belakangan Ronny baru tahu, ternyata itu calo). "Ada apa?" sapa orang itu. "Saya mau buat paspor, tapi persyaratannya kurang, jadi tidak bisa" kata Ronny. "Oh... begitu, sini saya bantu" kata orang itu sambil meminta sejumlah uang. Karena sudah frustasi, Ronny pun bersedia. Ternyata, tanpa dokumen yang diminta pun paspor bisa jadi. Calo ini tidak tahu rumah Ronny, calo ini tidak ke Cirebon, tapi kok bisa jadi? Padahal kata petugas, tanpa dokumen tersebut tak bisa buat paspor.

"Saya dulu terlalu lugu" kata Ronny sambil tersenyum kecut.

Mengapa Tidak Selesaikan dari Akar Permasalahan???

Dalam penanganan setiap permasalahan, menyelesaikan permasalahan dari hulu (akar permasalahan) tentulah lebih efektif. 

Misalkan saja larangan menjual VCD/ DVD bajakan atau petasan. Yang sering terlihat adalah razia pedagang petasan (biasanya saat bulan puasa, menjelang lebaran) dan VCD/DVD. 

Yang terlintas di benak penulis, mengapa hal ini dilakukan di ujung distribusi (saat pedagang  akan menjual barang tersebut ke konsumen). Mengapa tidak langsung di hulu-nya (produsen). Sulitkah mencari produsennya? Rasanya sih tidak. 

Penulis sering membandingkan dengan penangkapan teroris atau pencuri yang melakukan aktivitasnya lebih tersembunyi atau pengedar narkoba (ini lebih sulit ditangkap karena aktivitasnya lebih "tertutup."  Sedangkan aktivitas penjualan VCD/DVD atau penjualan petasan dilakukan secara terang-terangan, baik di toko maupun di emperan/ kaki lima.

Sulitkah mencari tahu asal VCD/DVD dan petasan tersebut? Tinggal tangkap pedagangnya lalu tanya dari mana sumbernya. Atau kalau mau langsung menangkap tangan, polisi/ intel bisa berjaga di sentra penjualan VCD/DVD bajakan atau petasan. Dari sana bisa ditelusuri siapa pemasoknya, menggunakan mobil apa, kapan biasa diantar, dan lain-lain.

Bahkan di Indonesia, ada desa tertentu yang memproduksi produk tertentu. Ada desa nelayan yang mayoritas penduduknya menjadi nelayan. Ada desa pengemis yang mayoritas penduduknya menjadi pengemis di kota-kota besar. Ada desa TKI yang mayoritas penduduknya menjadi TKI di luar negeri. Dan setahu penulis, ada juga desa penghasil petasan. Mengapa tidak dicegah di titik awalnya (tempat produksi)? Menjelang bulan puasa, sering terdengar berita ada petasan meledak saat akan diproduksi dan korbannya tewas. Desa itu dikenal sebagai desa pembuat petasan.

Yang terjadi seolah, petasan boleh diproduksi tapi tidak boleh dijual dan dimainkan? Kalau pun untuk kasus tertentu (acara adat pernikahan Betawi, petasan untuk perayaan tahun baru, dan lain-lain diperbolehkan), setidaknya produsen petasan didata (rasanya produsennya tidak sebanyak sekarang jika petasan hanya digunakan untuk kegiatan tertentu). Hanya yang punya izin boleh memproduksi petasan. Bisa dipantau berapa banyak produksinya dan yang membelinya pun harus ada izin.

Mungkin kasus ini mirip dengan minuman keras. Yang produksi harus punya izin, kalau pun diimpor, importir harus punya izin dan penjualnya juga harus punya izin (jadi tidak dijual di sembarang tempat).

Peraturan Berbahasa Indonesia yang Tidak Berkelanjutan

Dalam keseharian, kita menemukan banyak sekali kata asing yang digunakan dalam percakapan. Terlebih setelah Vicky Prasetyo menebar virus Vickinisasi. Banyak yang latah ikut-ikutan berbicara dengan mencampurkan aneka kata berbahasa asing (terutama Inggris) yang mungkin si penutur sendiri tidak begitu mengerti apa maksudnya.

Menurut penulis, media elektronik (terutama radio dan TV) berperan besar dalam mempengaruhi kemampuan berbahasa masyarakat. Semakin sering artis dan pejabat muncul dengan bahasa Indonesia yang campur-campur dengan bahasa asing, itu akan jadi wabah. Ada "anggapan" jika berbicara dengan bahasa seperti itu, terkesan lebih intelek. 

Pemerintah juga punya punya peranan penting dalam perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebuah kata asing yang terlanjur dipakai dan memasyarakat, memang sulit untuk diubah. 

Langkah yang terbaik adalah seperti kata pepatah; "Mencegah lebih baik daripada mengobati." Pemerintah sebaiknya mencegah penggunaan kata-kata berbahasa asing untuk penamaan tempat seperti: gedung, kompleks perumahan, atau istilah lain yang sering dipakai umum jika padanan kata untuk hal tersebut sudah ada.

Penulis ingat, di tahun 1980-an atau 1990-an ada "gerakan" mengindonesiaan kata-kata berbahasa asing. Salah satunya adalah kata tempat penyewaan video (video VHS saat itu) semula bernama: Rental Video lalu diganti dengan istilah palwa. Dan beberapa kata lain, termasuk nama kompleks perumahan (salah satu yang penulis ingat: Palm Spring diubah jadi Palem Semi).

Tapi sayangnya, kebijakan ini tidak bertahan lama. Nama tempat yang sudah terlanjur pakai bahasa asing dan sudah dikenal dengan nama itu diubah seperti Palm Sring menjadi Palem Semi, tapi nama-nama tempat seperti nama pusat perbelanjaan/ mal, kompleks perumahan, apartemen, sekarang justru menggunakan bahasa Inggris.

Misalkan saja: pusat perbelanjaan Central Park, Grand Indonesia Shopping Town, Pluit Junction (Jakarta), lalu apartemen: Braga Citywalk Apartment, The Majesty (Bandung), Apartemen Royal Mediterania Garden, Summerville Apartment (Jakarta), Apartemen Eastcoast Pakuwon City (Surabaya), dan lain-lain.

Mengapa nama lama yang terlanjur dikenal dengan nama berbahasa asing diminta diubah (Indomart pun diubah jadi Indomaret) tapi yang muncul setelahnya malah bebas berbahasa asing (terutama bahasa Inggris).  Bukankah "Mencegah lebih baik daripada mengobati???"


Selamat hari Sumpah Pemuda (28 Oktober 2013). 

Bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sapaan Ramah yang Tidak Tulus

Semakin maju dunia, semakin egois manusia. Semakin maju dunia, semakin sulit mencari uang. Jadi tidak heran kalau dalam pergaulan sehari-hari manusia jadi lebih cuek pada sesama. Banyak yang sibuk mengurus kepentingan diri sendiri. Ini tentu bukan sebuah kesimpulan umum, tapi setidaknya itulah sekilas hal yang penulis alami.

Kalau ada yang bilang, dulu manusia lebih peduli sesama, lebih akrab, lebih ramah, gotong royong dan toleransi lebih terasa, dan lain-lain, tampaknya memang begitu. Semakin maju, semakin banyak kebutuhan, semakin banyak persaingan, semakin egois manusia. 

Saat menjemput anak penulis yang pulang sekolah, penulis duduk di kursi yang tersedia di pelataran sekolah.  Banyak orangtua murid yang sedang menunggu untuk menjemput anaknya. Yang kenal akrab mengobrol dengan temannya, yang jarang menjemput dan tidak punya banyak teman asyik dengan ponselnya.

Tiba-tiba seorang ibu menyapa penulis "Pak, itu anak Bapak?" Anak bungsu memang sudah bubaran sekolah, sekarang menunggu kakaknya. "Ya..." jawab penulis.  Mendapat sapaan ramah, langsung alarm di kepala penulis menyala (hehehe biasanya ada udang di balik batu nih). "Anaknya kelas berapa?" "Kelas satu" jawab penulis. "Wah... pintar ya, masih kecil sudah kelas satu" lanjutnya. Penulis hanya tersenyum. 

Sebentar kemudian, "Pak, anaknya biasa minum vitamin apa?" Nah... 'kan ada tanda-tanda akan menawarkan dagangan nih. "Oh...vitamin yang diberikan dokternya. Tapi tidak setiap hari kok. "Ini ada vitamin bagus Pak. Produk MLM, anak saya semua pakai ini. Badannya selalu sehat, dan seterusnya" katanya berpromosi. "Oh... vitamin itu sudah pernah pakai, saudara saya juga ada yang jadi anggota MLM itu dan dapat harga khusus." 

Langsung promo produk MLM berhenti. Di lain waktu juga begitu. Ada yang menawarkan asuransi, makanan, buku, dan lain-lain. Jarak antara sapaan ramah dengan penawaran produk terlalu dekat. Cobalah akrabkan diri dulu, tinggal di mana, asal dari mana, anaknya mudah tidak jika disuruh belajar, dan lain-lain. Beberapa hari kemudian barulah menawarkan dagangan. Seringnya, hanya beberapa menit setelah beramah-tamah, langsung promo produk (baik brosur maupun langsung produknya).

Apakah salah cara seperti itu? Tidak kok, tidak ada yang salah. Salesman/ sales promotion girl mana pun seringnya begitu. Bertemu, sapa, lalu perkenalkan produknya. Sah-sah saja. Tapi jika Anda sebagai penjual menawarkan produk itu kepada penulis, yakinlah... penulis tidak akan beli.

Pemimpin Jakarta Sukses = Fasih Bahasa Betawi???

Penulis bingung mau kasih judul apa untuk posting kali ini. Sebelumnya reporter TV One juga (Muhammad Rizky) yang mencoba peruntungannya saat mewawancarai Jokowi dalam rangka "100 Hari Jokowi" (klik:  100 Hari Jokowi di Mata Seorang Reporter Stasiun TV Berita lalu klik dan baca tautan ke Kompasiana untuk info lengkapnya). Muhammad Rizky bukan mendapat pujian malah di-bully habis karena pertanyaan-pertanyaan ngeyel dan berniat menjatuhkan citra Jokowi dengan cara tidak etis.

Komentar di video YouTube tersebut dipenuhi caci maki untuk Muhammad Rizky, juga di Twitter hingga Muhammad Rizky menutup account Twitter-nya.

Kali ini giliran Andromeda Mercury yang mencoba, bukan saat mewawancarai Jokowi, namun Ahok. 

Setelah segala pernyataan dan pertanyaannya dijawab dengan tegas dan jelas, bahkan Ahok membantah pernyataan Ichsanuddin Noorsy yang tidak benar dalam tayangan Debat 1 Tahun Jokowi - Ahok di TV One dengan fakta-fakta, Andromeda Mercury terdengar "kalang kabut" (silakan lihat bahasa tubuh Andromeda Mercury saat akhir wawancara) dan mencoba mencairkan suasana dengan mengetes kecerdasan Ahok (hehehe seperti status-nya lebih cerdas dan mencoba menguji calon karyawan baru). 

Andromeda "Kita santai... santai... dulu Pak ya. Santai sebentar. Saya boleh dong. Selama setahun Bapak sudah berada di Jakarta, saya mau ngetes sedikit ini Pak. Kira-kira bahasa Betawinya sudah jago atau belum... dst..." Silakan dengar dan saksikan di videonya deh...

Acara live seperti inilah yang bagus (tanpa edit) yang bisa memperlihatkan siapa yang lebih cerdas dan bagaimana gugup/ grogi-nya sang reporter yang mati kutu dan salah tingkah. Lain kali ada baiknya stasiun TV menyiapkan reporter yang lebih cerdas dan sopan (bukan menyiapkan agenda politik untuk menjatuhkan musuh politik). Kasihan sang reporter yang mungkin dapat agenda mempermalukan narasumber justru dipermalukan dan jadi bahan cemoohan jutaan orang pemirsa TV dan jutaan penonton video YouTube. Mari asah logika berpikir dan siapkan pertanyaan bermutu.


Penonton (rakyat) sekarang sudah cerdas, mana yang netral dan mana yang dipenuhi ambisi politik pemilik media, apakah TV ini benar-benar terdepan mengabarkan atau terdepan mengaburkan???


Silakan Anda tonton video di bawah ini. Jangan lupa, cek juga komentar para penonton video tersebut (Andromeda Mercury pun merasakan apa yang pernah dirasakan Muhammad Rizky). Siapa lagi yang akan menyusul???




http://www.youtube.com/watch?v=hxOi0MrPhCM


Bonus
http://www.youtube.com/watch?v=RyhliIZE6rM




Jangan Memberi Kepada Orang yang Anda Kenal

Kita diajarkan berbagi (berdana, bersedekah, membantu orang lain). Semua agama mengajarkan hal itu. Tapi bukan hal itu yang akan penulis bahas. 

Pengalaman penulis tentang berbagi seperti ini. Dalam memberi sesuatu, lebih baik memberi kepada orang yang tidak kita kenal.

Mengapa? Alasan pertama adalah jika memberi kepada orang yang Anda kenal (tetangga yang kurang mampu), berdasarkan pengalaman penulis, ada "kewajiban" Anda untuk memberinya lagi di lain waktu. Padahal pemberian Anda itu pemberian insidental, bukan tunjangan rutin. Ini berdasarkan beberapa pengalaman pribadi penulis.

Ketika Anda memberikan uang atau barang, orang yang menerima pemberian Anda akan overacting setiap bertemu Anda. Membungkuk hormat dan tersenyum lebih lebar daripada biasanya. Sampai kapan? Sampai suatu saat (saat Anda dianggap wajib memberinya lagi).  Jika saat itu Anda memberinya lagi. Kalau tidak? Wajahnya tidak akan semanis sebelum Anda pernah memberinya dulu.

Jika Anda belum pernah memberinya apa-apa, saat bertemu, meski tak menyapa, ia akan tersenyum. Setelah Anda pernah memberinya, lalu tidak pernah memberi lagi (karena bagi dia itu kewajiban Anda untuk memberinya, mungkin setidaknya setahun sekali), wajahnya terlihat lebih tidak enak dipandang dibanding Anda dulu belum pernah memberinya apa-apa. Pengalaman ini bukan sekali penulis alami.

Alasan kedua? Nilai ketulusan kita akan semakin baik jika memberi kepada orang yang tidak Anda kenal. Jika dalam perjalanan, Anda melihat orang yang kesusahan dan layak dibantu, bantulah. Membantu orang yang tidak Anda kenal, secara tidak langsung membantu Anda melatih ketulusan. 

Jika membantu orang yang Anda kenal (kadang terlintas di benak kita), semoga saja kelak ia membantu (membalas) kebaikan saya. Kalau orang yang tidak Anda kenal? Tidak ada harapan itu. Dia tidak tahu siapa Anda, tidak tahu di mana rumah Anda, dan lain-lain. 

Yah... mirip Anda membuang sampah saja. Berbuat baik juga seperti itu. Anggap saja Anda sedang melatih ketidakterikatan Anda pada apa pun. Jika harta, semua itu tidak kekal. Sampai waktunya, semua akan Anda tinggalkan. Sebagian harta yang Anda bagikan, anggap saja sampah yang harus dibuang. Tidak perlu dilihat lagi, tidak perlu diingat lagi, tidak perlu memikirkan kelak orang itu akan membalas kebaikan Anda. Semua akan berjalan otomatis, Anda harapkan ataupun tidak. Anda menanam padi, otomatis akan tumbuh padi.

Silsilah Dinasti Banten, Abah Chasan dan Para Istri


TEMPO.CO, Jakarta--Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menjadi sorotan ketika KPK menangkap adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dalam upaya suap Ketua MK, Akil Mochtar. Gebrakan KPK, termasuk mencegah Ratu Atut, disambut banyak pihak sebagai awal runtuhnya 'dinasti Banten'.

Dinasti Banten keluarga Atut berawal dari sang ayah, Tubagus Chasan Sochib. Sang jawara Banten ini pernah berujar "Sayalah gubernur jenderal." Kalimat itu dilontarkan sang Jawara setelah Chasan mengantarkan pasangan Djoko Munandar-Ratu Atut sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2001.


Nama Chasan berkibar melalui perusahaan CV Sinar Ciomas yang didirikan pada1970-an. Perusahaan kontraktor itu cikal bakal PT Sinar Ciomas Raya yang sahamnya dimiliki keluarga besar Chasan.


Proyek-proyek besar di Banten sudah pernah digarap PT Sinar Ciomas seperti pembangunan gedung dewan tahun 2006. Pelabuhan dermaga di Cigading pun digarap PT Sinar Ciomas. Pembangunan gedung DPRD Banten senilai Rp 62 miliar juga tidak lepas dari PT Sinar Ciomas.


Chasan Sochib meninggal 30 Juni 2011. Namun, pamor keluarga ini belum luntur karena keluarga besarnya banyak menduduki posisi penting di pemerintahan maupun bisnis.


Chasan memiliki banyak istri. Jumlah istri dan anak Chasan Sochib bukan "angka pasti". Istri pertamanya, Wasiah, ketika diwawancarai Tempo, tak bisa menyebutkan siapa saja istri Chasan. "Ada di mana-mana," katanya. Seseorang yang dekat dengan penerima gelar doctor honoris causa dan profesor dari Northern California University dan Global University International ini bercerita, "Chasan juga tak tahu jumlah dan nama semua anaknya."


Jumlah istri Chasan sebenarnya bisa terlihat dari ahli warisnya. Surat Mahkamah Agung yang diterima tempo, memperlihatkan Chasan memiliki 25 ahli waris dari 6 istrinya.

 


** ISTERI PERTAMA, Wasiah Samsudin, menikah 2 Nopember 1960 di Serang. Namun bercerai tahun 1991:

MEMPUNYAI ANAK:


1. Ratu Atut Chosiyah:

JABATAN: Awalnya Atut menjabat Wakil Gubernur pada tahun 2001. Karirnya naik menjadi Plt Gubernur Banten pada Oktober 2005. Puncaknya ia berhasil menduduki jabatan Gubernur Provinsi Banten: 2007-2012 dan 2012-2017


Suami: Hikmat Tomet yang menjabat anggota Komisi V Fraksi Golkar 2009-2014


Anak pasangan Atut dan Hikmat:


1. Andika Hazrumy menjabat Anggota DPD Banten 2009-2014, Kordinator TAGANA (Taruna Siaga Bencana) Banten, Direktur Utama PT. Andika Pradana Utama, Direktur Utama PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama, Direktur Utama PT Ratu Hotel


Isteri: Ade Rossi Khoerunisa menjabat anggota DPRD Kota Serang 2009-1014


2.Ratu Tatu Chasanah => Wakil Bupati Kabupaten Serang 2010-2015


3. Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan seorang pengusaha dan Ketua AMPG Banten


Istri : Airin Rachmi Diany menjabat Walikota Tangerang Selatan 2011-1016


 
Istri kedua...

** ISTERI KEDUA, Ratu Rapiah Suhaemi. Ia dinikahi Chasan Sochib pada 2 Mei 1969 di Serang:


Dari Rapiah Suhaemi, Chasan mendapat lima anak:


1. Tubagus Haerul Jaman

Menjabat Wakil Walikota Serang 2008-2013, Walikota Serang 2013-2018


2. Ratu Lilis Karyawati

Menjabat Ketua DPD II Golkar Kota Serang 2009-2014


Suami: Aden Abdul Khaliq yang menjabat => Anggota DPRD Banten 2009-2014


3. Iloh Rohayati


4. Tubagus Hendru Zaman


5. Ratu Ria Mariana


** ISTERI KETIGA, Chaeriyah. Tubagus Chasan Sochib menikahinya pada 21 Mei 1968. Namun sudah bercerai pada 2002. Istri ketiga Chasan dikaruniani lima anak:

1. Ratu Heni Chendrayani

Menjabat: Pengurus Kadin periode 2012-2017. Ia menduduki posisi Ketua Komite Tetap Asuransi Kendaraan


2. Ratu Wawat Cherawati

Menjabat: Pengurus Kadin periode 2012-2017. Ia menduduku posisi Komite Tetap Pengolahan & Pemanfaatan Limbah Industri Pertambangan


3. Tubagus Hafid Habibullah


4. Tubagus Ari Chaerudin, aktif di Gapensi kota Serang


5. Ratu Hera Herawati



Istri keempat...

** ISTRI KEEMPAT, Imas Masnawiyah dinikahi Chasan Sochib pada 06 Juni 1969 di Pandeglang dan sudah meninggal pada 17 Pebruari 1986.


Istri keempat Chasan mempunyai tiga anak:


1.Ratu Ipah Chudaefah

Menjabat guru di Kota Serang


2. Ratu Yayat Nurhayati


3. Tubagus Aan Andriawan



**ISTERI KELIMA, Heryani Yuhana yang dinikahi Chasan 30 Mei 1988 di Pandeglang.

Istri kelima menjabat anggota DPRD Kabupaten Pandeglang periode 2009-2014. Chasan dari Heryani mendapat lima anak:


1. Tubagus Erhan Hazrumi

Menjabat: Direktur PT Trio Punditama.


2. Ratu Irianti


3. Tubagus Bambang Saepullah


4. Tubagus Febi Feriana Fahmi

 


** ISTERI KEENAM, Ratna Komalasari dinikahi Chasan pada 8 April 1991 => Anggota DPRD Kota Serang periode 2009-2014. 

Empat anak didapat Chasan dari Ratna Komalasari:

1.Tubagus Bambang Chaeruman

Menjabat: Bekerja sebagai kontraktor


2. Ratu Aeliya Nurchayati


3. Tubagus Taufik Hidayat



Sumber:  Kaskus

Pengemis Minta Gaji Rp 4 -10 Juta per Bulan!

Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung berencana menertibkan gelandangan, pengemis, pengamen, anak jalanan agar Kota Bandung menjadi lebih tertib. Mereka ditawari kerja menjadi tukang sapu jalanan dan mendapat tempat tinggal di mes Persib yang memiliki fasilitas kamar mandi dan tempat tidur yang tentu lebih layak daripada di emperan dan kolong jembatan.

Apa reaksi mereka? Mereka berdemo dan menolak. Mereka mendatangi kantor DPRD Kota Bandung serta lalu melanjutkan aksinya ke kantor Wali Kota Bandung. Mereka minta gaji Rp 4-10 juta! Kalau Rp 700 ribu tidak cukup.

Kang Emil (sapaan akrab Ridwan Kamil) hanya geleng- geleng kepala. Namun Kang Emil secara tegas meminta kepada pengemis untuk mau mengikuti ketentuan dari Pemkot Bandung. Jika tidak, penertiban akan terus dilakukan. Pekerjaan sudah disiapkan, fasilitas tempat tinggal sudah ada, dan makan diberi. Jika tidak mau, ya suka tidak suka harus taat aturan yang ada. Jalanan harus bebas dari pengemis dan anak jalanan," kata Kang Emil. 


* * * * * * * * * * *


Bagaimana logika berpikir seperti ini. Lulusan S1 yang baru bekerja pun tidak mendapat gaji sebesar itu. Mereka harus dimaklumi karena pendidikan mereka tidak tinggi? Tidak juga. Logika berpikir seperti ini tidak harus berpendidikan sarjana kok. Anda bisa lihat begitu banyak orang yang bukan sarjana tapi mereka masih punya mental juang dengan bekerja apa saja yang halal (penarik becak, pedagang, kuli, jualan sayur, dan lain-lain). Banyak kerjaan lain, pilihan bukan hanya pengemis! 

Bisa Anda bayangkan besarnya penghasilan mereka dalam sebulan. Gaji buruh pabrik atau bahkan sarjana lulusan S1 terbaru pun tidak sampai sebesar itu. 

Sudah terbiasa malas kerja, hanya menadahkan tangan, pasang muka memelas, bila perlu sewa bayi atau membuat luka bohongan agar penghasilan lebih tinggi. Kerja santai, tak perlu banyak pikir, jam kerja bebas, dan lain-lain, penghasilan jauh lebih besar daripada sarjana yang kerja kantoran. 

Maju terus Kang Emil. Kota Bandung harus jadi lebih baik. Yang mau ikut, silakan. Tidak ikut, peraturan harus ditegakkan. 

Pemerintah sudah berbaik hati memberi solusi, masih minta apa lagi? Masyarakat Bandung juga harus mendukung kebijakan pemerintah dengan tidak memberikan uang kepada pengemis. 

Logika kita selama ini, kita memberi karena posisi kita secara ekonomi lebih baik daripada mereka. Tapi tahukah Anda jika penghasilan mereka jauh lebih besar daripada Anda yang kerja kantoran dari pagi sampai sore (itu pun orangtua kita sudah menyekolahkan kita hingga sarjana dengan biaya tidak sedikit).

Jika mereka dibiarkan mengemis dan masyarakat masih mendukung (memberi uang kepada mereka), "profesi" ini akan terus ada selama masih memberikan hasil yang menguntungkan. Kita secara tidak langsung mendidik mereka jadi pemalas. Turun temurun "profesi" ini akan diwariskan karena enak dan juga anak jalanan tidak punya kesempatan mengenyam pendidikan untuk masa depan yang lebih baik.

Banyak tempat yang lebih pas untuk menerima uang yang kita sisihkan (panti asuhan, panti wredha, anak-anak penderita kanker, dan lain-lain).

Penulis jadi tertawa geli ketika terlintas pikiran lucu. Jika pengemis berdemo mendatangi Wali Kota dan minta gaji Rp 4-10 juta per bulan, bagaimana jika pekerja pabrik atau karyawan kantoran yang gajinya tidak sampai sebesar itu ikut berdemo ke pimpinan mereka.

"Pak, kami minta gaji kami dinaikkan, minimal Rp 4 juta per bulan. Kalau tidak, mendingan kami jadi pengemis saja deh..."

Kami Beri Janji, Bukan Bukti

Dua nama tokoh ini telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anas Urbaningrum, mantan ketua umum Partai Demokrat jadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang, sementara Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) jadi tersangka dua kasus dugaan suap sengketa pilkada, yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas dan Pilkada Kabupaten Lebak.

Uniknya, sebelum ditetapkan menjadi tersangka, dua tokoh ini dikenal keras terhadap isu-isu korupsi. Anas misalnya, pernah jadi bintang iklan kampanye menolak korupsi waktu masih menjadi politisi Demokrat. Bahkan ketika menjabat sebagai ketua umum Demokrat, dia sempat meminta digantung di pucuk Monas bila terlibat kasus Hambalang.

"Kalau ada satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas," kata Anas di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat, 9 Maret 2012. Hal itu dia katakan ketika namanya disebut-sebut oleh Muhammad Nazaruddin, terlibat dalam korupsi Hambalang.

Sebelas bulan kemudian, setelah Anas minta digantung bila terbukti terlibat dalam skandal kasus korupsi itu, Februari 2013 lalu KPK akhirnya menetapkan politisi asal Madiun, Jawa Timur, itu sebagai tersangka korupsi pembangunan sport center di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Namun buru-buru menepati janji, Anas malah sewot ketika ditagih janjinya. Ketika ditanya soal pernyataan yang pernah diucapkannya, yakni siap digantung di Monas jika terbukti terlibat korupsi Hambalang. Anas hanya bisa menjawab: "Silakan tulis apa saja, terserah. Sekarang saya balik tanya, Anda berharap itu ya? Ya itu jawaban saya."

Lain Anas, lain Akil. Bila Anas minta digantung di Monas, usulan Akil juga tak kalah ekstrem. Dia pernah melontarkan ide potong jari tangan untuk pelaku korupsi. Selain itu, ia juga mengusulkan untuk memiskinkan koruptor. Tujuannya tak lain agar menimbulkan efek jera.

Waktu itu Akil masih menjabat sebagai juru bicara MK. Mengomentari ramainya kasus korupsi yang ditangani KPK, dia sempat melontarkan ide dan gagasan soal cara menghukum koruptor. "Ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup," ujarnya, pada 12 Maret 2012.

Menurut Akil, hukuman potong jari tangan sangat pantas. Sebab, jika hanya memiskinkan saja, negara tidak pernah benar-benar tahu kapan koruptor akan mengulangi perbuatannya. "Pemiskinan koruptor itu kalau hartanya didapat dari negara. Lebih baik dipermalukan dengan mencacatkan salah satu bagian tubuhnya."

Ternyata di luar dugaan, kini Akil justru yang terjerat kasus korupsi. Kamis (3/10) sore kemarin, dia ditetapkan sebagai tersangka dua kasus suap sengketa pilkada sekaligus. Akil tertangkap tangan sedang transaksi di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (2/10) malam.

Jadi bagaimana sekarang, apakah Anda mau menunggu Anas gantung diri dan Akil Mochtar potong jari?

Dikutip dari: Merdeka



Inikah Tingkat Rasa Malu Pencuri???




BONUS:


(untuk memperbesar tampilan, silakan klik pada gambar)



Masalah BBM + Kemacetan = Solusinya Mobil Murah???

 Sumber: Kompas

Kemacetan di kota besar (khususnya Jakarta)

Sumber: Kaskus

 
Sumber: Tribun News


Sumber: Okezone

Sumber: Aktual

Yang penulis soroti di sini adalah logika berpikir tentang kehadiran mobil murah seperti kalimat awal berita: 

"Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengklaim pengadaan mobil murah tidak akan meningkatkan angka kemacetan sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Sebaliknya, Kemenhub menilai kemacetan bukan karena adanya pengadaan mobil murah."

"Menteri Perindustrian, MS Hidayat keukeh mobil murah atau low cost green car (LCGC) bukanlah penyebab kemacetan." 

Menurut penulis, jalan dan kendaraan adalah 2 faktor yang berperan besar dalam kemacetan. Yang lain bisa: bagaimana transportasi massal, perilaku orang berkendara (disiplin atau tidak), kondisi jalan (bagus atau berlubang, ada genangan air atau tidak bila hujan), pengaturan jam kerja dan jam sekolah, dan masih banyak lagi.

Logika penulis (faktor lain dianggap tetap): jika kendaraan ditambah (dengan adanya kebijakan mobil murah) sedangkan kita tahu ruas jalan sangat lambat pertambahannya, jelas sekali kebijakan mobil murah (menambah jumlah mobil di jalan raya) ini jelas akan memperparah kemacetan.   

Kalau pernyataannya: Kehadiran mobil murah memang menambah kemacetan tapi tidak signifikan mungkin logika berpikirnya masih bisa diterima. 

Tapi rasanya jika seseorang "diserang" pasti reaksi awalnya adalah membela diri. Ucapan yang dikeluarkan pun umumnya berlawanan (membantah) apa yang dikatakan pihak yang menyerang meskipun terkadang terdengar tidak masuk akal. 

Kita tahu bahwa baru saja pemerintah menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi) dan menganjurkan hemat energi (karena BBM termasuk sumber alam yang tak dapat diperbaharui), menambah jumlah mobil dengan program mubil murah jelas akan menambah pemakaian BBM (meskipun nantinya mobil ini tidak memakai BBM bersubsidi), tapi setidaknya pemakaian BBM akan bertambah. 

Pemerintah kota besar (terutama Jakarta) sedang berjuang mengurangi kemacetan (salah satunya dengan menyediakan transportasi massal yang nyaman) dan membuat kebijakan agar orang-orang mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, kebijakan mobil murah justru memberikan kesempatan orang untuk lebih mudah memiliki kendaraan pribadi. 

Khusus buat Jokowi-Ahok, PR untuk mengatasi segala problem di Jakarta yang sudah menumpuk sekian lama (termasuk kemacetan) belum sepenuhnya bisa diatasi, sekarang bakal ada tambahan permasalahan untuk kemacetan (program mobil murah). Semoga diberi kesehatan untuk mengatasi problem yang semakin rumit ini.  



Baca juga:
  1. Fakta-Fakta yang Mengkhawatirkan (data tahun 2010: kemacetan, pertambahan kendaraan bermotor per hari, dan pertumbuhan panjang jalan)
  2. Demi Hemat BBM, Pejabat di India Berjalan Kaki ke Kantor

abcs