Apakah Kasus Ini Juga Terjadi Pada Skala Besar???

Berita korupsi dan koruptor tertangkap oleh KPK bukan hal yang aneh. Itu sudah terlalu sering kita dengar. Kasus korupsi mulai dari PNS rendahan sampai level tinggi (anggota dewan, gubernur, sampai menteri) pernah terjadi.

Dalam berbagai kesempatan di TV, setiap kali ada wawancara atau diskusi atau debat, banyak pihak berkomentar tidak menyangka hal ini bisa terjadi, merasa heran kok hal ini bisa terjadi, kecolongan, atau bentuk pengingkaran yang lain. Apakah sebenarnya mereka yang berkomentar ini memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Entahlah


* * * * *
Pada kasus markup atau bentuk kecurangan lain yang merugikan (penulis hanya bicara untuk skala kecil seperti pada perusahaan) dalam pengadaan barang atau jasa, menurut penulis adalah hal yang sangat umum terjadi. 

Markup (menaikkan harga barang/ jasa) atau memilih produk yang harganya lebih tinggi meski kualitasnya sama atau bahkan lebih jelek, atau memilih produk yang harganya sama tapi kualitasnya lebih jelek adalah "hal biasa" dan mudah dilakukan pemegang kebijakan untuk hal itu. 

Kasus ini adalah hal yang umum terjadi, tapi memang "tidak mudah" menangkap para pemainnya karena mereka pun tentu melakukannya dengan hati-hati. Andai saja tender pengadaan barang dilakukan secara transparan (banyak pihak yang dapat mengawasi), tindakan korupsi seperti ini bisa diminimalisir.

Penulis contohkan hal kecil yang penulis alami. Pekerja bangunan yang memperbaiki rumah penulis pun bisa melakukan hal ini. Ketika diminta referensi, toko bangunan mana yang bagus, dia mereferensikan toko bangunan B. Penulis biasa berbelanja di toko bangunan B. Oke deh, penulis ikuti sarannya, dia cerita toko A barnagnya bagus, harganya bersaing, dan barangnya lengkap.

Penulis dan pekerja bangunan mengendarai motor ke toko B. Sampai di sana, penulis memberitahukan barang-barang yang akan dibeli kepada karyawan toko B. Sementara penulis lihat pekerja bangunan ini mendekati pemilik toko. Dan ini yang terjadi, (maaf) bodohnya pemilik toko langsung salam tempel kepada pekerja bangunan dan mengucapkan terima kasih. Oo... ternyata ini peyebabnya si pekerja bangunan mereferensikan toko B yang ternyata tidak lebih besar dan komplet barangnya dibanding toko B.

Baru 1 atau 2 barang yang penulis sebutkan, penulis langsung bilang "Cukup, itu saja..." Langsung penulis ajak pekerja bangunan pindah ke toko A, langganan penulis.

Entahlah hal ini bisa disebut korupsi atau tidak, wajar atau tidak. Pemilik toko memberi tips karena pekerja bangunan mereferensikan tokonya adalah hal yang wajar. Ya, wajar tapi jika semua harganya tetap sama dibanding orang lain yang datang sendiri dan belanja di sana. Tapi umumnya, pemilik toko tidak mau kehilangan "uang tips" yang sudah diberikan kepada pekerja bangunan ini. Makanya semua harga barang dinaikkan sedikit-sedikit untuk mengembalikan uang tips tersebut.

Contoh lain adalah rumah makan tempat bis antarkota berhenti. Suka atau tidak suka, kita (penumpang bis) yang makan di sana, dikenai "tambahan harga" pada hidangan yang kita makan untuk membayar sopir dan kernet yang bisa makan kenyang sepuasnya (bahkan kadang plus uang tips) agar nanti sopir ini menghentikan bis-nya di sana lagi. 

Cerita lain dari teman penulis, ada oknum dokter yang nakal juga begitu. Menulis resep obat yang diproduksi pabrik obat tertentu yang memberi bonus atau fasilitas yang paling tinggi.

Sebagai penentu kebijakan, akankah kita tergoda untuk mengikuti apa yang didiktekan penjual, supplier, rekanan,  atau  apalah namanya karena ada "bonus" di balik itu ataukah kita memutuskan berdasarkan nurani dan perhitungan logis mana yang terbaik untuk kepentingan perusahaan tempat kita bekerja?

Jika kita dapat mengikuti hati nurani dan perhitungan logis mana yang terbaik bagi kepentingan perusahaan tempat kita mengabdi (bukan kepentingan pribadi) tentu inilah yang terbaik dan diajarkan agama kita.

Kadang pekerja bisa bertahan ikut hati nurani jika jumlah yang ditawarkan jumlahnya tidak seberapa, tapi bagaimana kalau jumlah angka nol-nya banyak (ratusan juta sampai miliaran rupiah)??? Atau gratifikasi seks yang ditawarkan???

Berdasarkan fakta yang ada dan logika berpikir, penulis meyakini hal ini terjadi pada skala yang lebih besar, meski tak berharap hal itu terjadi.

Pada bagian akhir tulisan, penulis tidak ingin membuat kesimpulan apa-apa. Berdasarkan fakta di lapangan di sekitar Anda, silakan Anda menilai, apakah "kasus kecil" seperti ini hanya terjadi pada lingkungan perusahaan kecil atau juga terjadi pada skala besar (pengelola dan penentu kebijakan untuk negara kita tercinta)??? Entahlah..

Akan Memperjuangkan Nasib Rakyat???

Melihat baliho besar, iklan di media massa, televisi, banyak sekali calon pejabat yang berjanji akan memperjuangkan nasib rakyat. Berjanji akan melakukan ini dan melakukan itu. 

Apakah penulis percaya? Ehm... bagaimana ya? Kalau penulis, prosentase-nya kecil sekali untuk percaya hal-hal seperti itu. Ada yang bilang penulis pesimis. Kita harus optimis. Hah!!! Ini bukan soal pesimis atau optimis, tapi realistis.

Anda lihat sendiri (dan juga psti sudah perah merasakan sendiri) antara janji saat kampanye (belum jadi) dengan setelah jadi pejabat. Jauuuh sekali bedanya.

Saat kampanye, apa pun akan dilakukan untuk menarik simpati masyarakat yang pada dasarnya cepat sekali lupa. Jika Anda punya hajatan, atau mau meresmikan sesuatu, di masa-masa kampanye inilah saat yang tepat untuk mengundang mereka. Kemungkinan besar mereka akan datang (meski tentu saja acara tersebut akan bernuansa promo dagangan beliau).

Saat kampanye inilah mereka akan sangat dekat dengan rakyat kecil. Mereka rela datang ke kampung kumuh, pasar yang becek, korban kebakaran, korban banjir, tempat pengungsian, mereka cepat memberi tanggapan saat ada bencana, dan lain sebagainya. Kalau sudah jadi??? Anda bisa lihat sendiri. Jangankan mampir ke tempat rakyatnya (meluangkan waktu ke tempat kumuh), meluangkan waktu sedikit saja untuk menemui rakyatnya yang jauh-jauh datang ke kantornya untuk mengadu pun sulit terlaksana. Inilah kenyataannya.

Untuk mencapai kesuksesan tersebut, sudah jadi rahasia umum mereka mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Bukan lagi ratusan juta tapi sudah mencapai angka miliaran rupiah. Kapankah uang sebesar itu akan kembali jika hanya mengandalkan gaji? Akankah seseorang rela berjuang membela rakyat namun harus keluar miliaran rupiah terlebih dahulu? Lagi pula risiko yang dihadapi pun tidaklah sedikit. Pertama kalah dalam pemilihan (baik secara fair maupun kalah karena dicurangi). Lalu segala sepak terjangnya jadi sorotan publik, dan lain-lain.

Jadi penulis tidak percaya 100% omongan para calon??? Tidak 100% sih... Ada pejabat (baca: sedikit) yang konsisten melakukan apa yang telah dikatakan/ dijanjikan. Saat sebelum jadi dan sesudah jadi pejabat, tidak terlalu jauh sikapnya (masih dekat dengan rakyat, membela kepentingan rakyat, bersih dari korupsi, dan lain-lain). Setidaknya itu yang penulis lihat pada sosok Jokowi-Ahok (mungkin ada yang lain, tapi jumlahnya sangat jauh jika dibandingkan dengan yang bisa dijadikan teladan. 

Jadi rasanya, sedikit teladan di antara sekian banyak pejabat yang tidak bisa diteladani, mereka adalah sosok langka (dan di mata awam, mereka "gila" karena rela bekerja keras demi rakyat dengan segala risiko yang ada, bahkan Bung Jokowi sampai gaji pun tidak diambil). Sebenarnya jika mereka mau tetap jadi pengusaha atau kerjaan lain, mereka bisa hidup senang dan tenang kok. 
So... mendengar, melihat, dan membaca para calon pejabat rela mengeluarkan uang miliaran rupiah demi membela kepentingan rakyat, logika berpikir penulis mengatakan "tidak percaya." Bukan pesimistis, bukan tak mau optimis, tapi realistis. Bagaimana dengan Anda??? 


Silakan baca berita ini (klik saja):

  1. 158 Walikota-Bupati, 17 Gubernur Jadi Tersangka Korupsi
  2. 298 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi, LAN Dukung Lelang Jabatan


Terjadi Kesalahan Saat Akan Menyimpan Atau Mem-publikasikan Tulisan di Blogspot.com

Saat Anda akan menyimpan atau mem-publikasikan tulisan Anda di blog (.blogspot.com) mungkin Anda pernah menemukan tulisan seperti ini:

Terjadi kesalahan saat mencoba menyimpan atau memublikasikan pos Anda. Coba lagi. Abaikan peringatan. Silakan lihat gambar di bawah ini.

Klik gambar untuk memperbesar tampilan


Apa yang harus dilakukan?Selama ini, penulis meng-klik tulisan berwarna biru (Abaikan peringatan.) lalu klik kotak warna oranye Publikasikan. Jika belum berhasil? Penulis akan lakukan hal ini berulang-ulang sampai berhasil. 

Terkadang meski tulisan di layar:
Terjadi kesalahan saat mencoba menyimpan atau memublikasikan pos Anda. Coba lagi. Abaikan peringatan. 

Saat penulis coba buka blog penulis, ternyata tulisan tersebut (atau hasil edit tulisan yang dilakukan) sudah muncul di blog. 

Begitu juga saat akan menyimpan tulisan di  dasbor blogger (tulisan belum selesai untuk dipublikasikan). Cukup klik: (Abaikan peringatan.) lalu klik kotak warna oranye Publikasikan, lakukan hal ini berulang-ulang sampai berhasil. 

Entah kesalahan apa yang terjadi (mungkin bahasa HTML kita ada yang salah, atau di pihak blogger yang sedang bermasalah). Tapi dengan 2 langkah tadi, selama ini permasalahan itu bisa teratasi. Selamat mencoba, semoga info ini bermanfaat.

Mengatasi Not Found Error 404 di Dasbor Blogger

Ketika akan menulis di blogger (blog beralamat .blogspot.com), kita memasukkan alamat email dan password terlebih dahulu lalu tekan Enter. Seharusnya kita berada di  dalam Dasbor Blogger. Tapi kok tampilan yang muncul justru tulisan: Not Found lalu di bawahnya Error 404 (lihat gambar 1). Ada apa ini?



 Silakan klik pada gambar untuk memperbesar tampilan

Gambar 1 

Seperti biasa, setiap ada masalah, penlis tanya ke Mbah Google yang memang serba tahu. Tapi link yang muncul tidak sesuai dengan yang penulis maksud. Kebanyakan masalah Not Found Error 404 itu terjadi saat buka blog (browsing), artikel tersebut sebelumnya ada tapi sudah dihapus oleh pemilik blog. 

Maka coba cari solusi sendiri. Langkah pertama adalah menghapus semua tulisan setelah tulisan .com 

Misalkan yang tertera di browser: 

https://www.blogger.com/blablablablablablablablaXXXXXX

Hapus semua tulisan blablabla dan seterusnya sampai habis sehingga yang tersisa seperti ini:



https://www.blogger.com/ 

(lihat gambar 2)



 Gambar 2

Sekarang letakkan cursor Anda di browser lalu klik Enter. Maka Anda akan masuk ke Dasbor Blogger dan nama-nama blog Anda terlihat (seperti gambar 3). Selesai deh...

 
Gambar 3

Sekarang tinggal posting tulisan yang Anda inginkan. Semoga info ini bermanfaat...

Mengapa Tembok Bangunan Retak?

Penulis perhatikan, tembok bangunan yang retak tidak hanya bangunan rumah di kompleks perumahan biasa, tapi sampai rumah atau ruko di kawasan yang lumayan bagus juga mengalami keretakan. Baik yang retak kecil (hanya berupa garis saja), sampai retak besar dan renggang hingga bagian dalam tembok terlihat. 

Begitu juga rumah penulis. Ketika renovasi dilakukan (sambil mengecat dan memperbaiki bagian lain yang rusak), penulis juga minta tukang memperbaiki bagian tembok yang retak.

Beberapa kali sudah diperbaiki, hasilnya masih sama (retak lagi). Dari yang hanya mengisi bagian yang retak dengan dempul tembok, dempul gypsum, semen putih yang dicampur lem kayu, sampai yang memecahkan bagian yang retak lalu diplester kembali dengan semen. Selesai diperbaiki sih tembok terlihat mulus, tapi setelah beberapa bulan, retak kembali.

Penulis tanya kepada tukang: apa penyebab tembok bisa retak, jawabannya pun bervariasi. Ada yang mengatakan tanahnya labil, proses pengeringan semen tidak merata, saat bata dipasang tidak disiram atau direndam dulu, dan lain-lain.

Tapi penulis berpikir, salah satu penyebabnya mungkin berasal dari bahan bangunan. Kualitas pasir yang dipakai memang tidak sesuai spesifikasi. Untuk cor, dipakai pasir beton (pasir cor yang warnanya gelap atau tukang menyebutnya warna hitam). Ini memang pasir. Tapi untuk tembok (memasang bata), mereka memasang pasir pasang (warnanya kecoklatan).  Bagi penulis, pasir (yang mereka sebut pasir pasang), lebih layak disebut tanah liat daripada pasir. Di berbagai tempat di Bandung, setiap ada tumpukan pasir pasang, lalu ada hujan, maka pasir pasang itu berubah menjadi lumpur. Dan pasir pasang kalau diambil dan dikepal, akan membentuk gumpalan yang jika dilempar kembali ke tanah, memang cenderung masih menggumpal karena kandungan tanahnya cukup banyak. Ini tentu berbeda dengan karakter pasir cor atau pasir beton yang tidak mudah menggumpal.

Penulis belum pernah mencoba, jika 1 kg pasir pasang itu dimasukkan ke dalam ember dan "dicuci" (disiram air atau dibilas untuk menghilangkan tanahnya), berapa banyak pasir yang tersisa? Lain kali akan penulis coba, dan hasilnya akan ditambahkan di sini. 

Jalan Bagus yang Selalu "Dirusak"


Jalan sudah diaspal rapi atau sudah disemen rapi, ada saja pekerjaan penggalian yang merusaknya. Entah dari Telkom atau dari instansi lain. Kejadian seperti ini selalu terulang. Apakah di kota tempat Anda juga demikian? Apakah tidak ada perencanaan jangka panjang yang matang? Kira-kira 5-10 tahun ke depan, banyak jaringan yang kelak diperlukan? Mengapa tidak sekalian saja dikerjakan (tanam kabel dalam jumlah banyak) sehingga 5-10 tahun ke depan tidak perlu menggali lagi.

Seringnya, baru sekitar 1 tahun lalu digali, ada lagi galian baru (padahal bekas galian sudah diperbaiki). Seharusnya ada koordinasi antar instansi sehingga sekali gali, beberapa keperluan langsung bisa dikerjakan secara bersamaan.

Ada satu hal lagi yang jadi permasalahan. Setiap kali penggalian, selalu saja jalan bekas galian itu hanya ditutup ala kadarnya dengan tanah bekas galian. Yang asalnya aspal, tidak diaspal lagi. Yang awalnya sudah disemen rapi, tidak diaspal lagi. Yang jadi pertanyaan di benak penulis, apakah memang dari instansi yang bersangkutan hanya ada biaya gali lubang, tak ada biaya untuk menutup lubang? Ataukah dana untuk itu ada tapi dikorupsi???

Untungnya masyarakat kita memang murah hati dan pemaaf. Setelah jalan ditinggal dalam keadaan rusak akibat penggalian, mereka akan memperbaikinya dengan swadaya.

Mendengar Lagu Indonesia dari Orang Asing

Sewaktu menjelajahi YouTube, penulis menemukan beberapa lagu Indonesia dinyanyikan orang asing. Lagu Indonesia dinyanyikan orang Indonesia tentu hal yang biasa. Bagaimana lagu Indonesia jika dinyanyikan oleh orang asing? Penulis merinding mendengar lagu Himne Guru yang dinyanyikan Anjeli Diack, tertegun mendengar lagu Desaku yang sudah jarang terdengar dari mulut anak-anak Indonesia justru dinyanyikan oleh anak-anak dari Belanda, dan terpesona mendengar lagu Kisah Kasih di Sekolah yang dinyanyikan oleh Peter Fennema dari Belanda.

Silakan simak lagu: Himne Guru, Desaku, dan Kisah Kasih di Sekolah   










Bukan Berbicara dengan Bahasa Asli Mereka

Umumnya kita berbicara bahasa kita sendiri (bahasa negara kita sendiri atau bahasa suku kita sendiri). Jadi jika kita orang Jawa dan tinggal di Solo (Indonesia), kemungkinan besar kita fasih berbahasa Jawa dan Indonesia.  Lain kasusnya jika kita orang Jawa tapi ikut orangtua yang bertugas ke negara lain (China misalnya), kemungkinan kita juga akan fasih bahasa Mandarin karena lingkungan sekolah dan pergaulan. Jadi, sebenarnya seorang yang fasih "bahasa asing" (seperti kasus orang Jawa yang lama tinggal di China misalnya), bukanlah hal yang aneh. 

Atau seorang anak dari Indonesia (misalkan saja dari Papua) lalu diadopsi orang Jepang dan tinggal serta besar di sana, tentu juga bukan hal aneh jika ia fasih bahasa Jepang dan tidak bisa bicara bahasa Indonesia ataupun bahasa Papua. Itu tentu bukanlah hal yang aneh (secara teori). Tapi melihat orang bicara "bahasa asing" masih membuat penulis terpesona, meski secara teoritis, itu bukanlah hal yang aneh. 

Tulisan ini hanya ingin menyampaikan pesan bahwa, jika mau belajar, tak ada yang tak mungkin.

Berikut beberapa video mereka yang fasih "berbahasa asing." Selamat menyaksikan...


Bensin Sebagai Pengganti Tiner

Beberapa waktu lalu penulis melakukan renovasi rumah kecil-kecilan. Hanya memperbaiki bagian atap yang bocor jika hujan deras dan mengganti warna cat seluruh ruangan di dalam rumah.

Tukang yang kami gunakan berbeda dari yang pernah kami pakai (karena kerjanya kurang bagus, nomor HP tukang yang lama sudah dihapus dari memori HP). Dari pengalaman renovasi rumah (membeli bahan bangunan), penulis mendapat pengalaman berharga. Setiap kali selesai renovasi, pasti ada bahan tersisa. Dibuang sayang, disimpan memakan tempat. Jika cat kayu, relatif awet disimpan, tapi untuk cat tembok, seringnya sudah rusak saat akan digunakan lagi.Yang lebih repot menyimpan pasir atau semen.

Memang serba salah. Beli sedikit dulu, repot bolak-balik ke toko bangunan. Lagi pula beli dalam jumlah banyak, tentu harga satuannya lebih murah. Jadi sebaiknya nego dulu dengan pihak toko. Jika beli kebanyakan, boleh tukar barang lain (tetap tak boleh kembali uang). Sisa semen bisa "dijual" kembali ke toko (mereka bisa jual eceran), tapi harga jual kembali tergantung pada pemilik toko. Itu solusi untuk semen dan beberapa bahan bangunan seperti cat.

Tiner? Ini juga agak merepotkan (mudah menguap). Khusus untuk tiner, penulis punya solusi. Daripada beli tiner kemasan botol plastik (apalagi terpentin) untuk pengencer cat, lebih baik menggunakan bensin. Terpentin jelas tidak masuk hitungan (cat lambat kering dan terpentin yang dijual lebih mirip minyak tanah tapi harga jelas lebih mahal). Tiner yang bagus biasanya kemasan kaleng dan isinya lumayan banyak. 

Sejauh ini, pakai bensin lebih menguntungkan. Harga lebih murah dan nyaris tidak ada sisa. Kalau perlu bensin, tinggal disedot dari motor pakai selang kecil. Perlu sedikit atau banyak tidak masalah. Jika beli tiner, harus beli sekaleng meski perlunya sedikit. Sejauh ini baik-baik saja (bensin berfungsi dengan baik sebagai pengencer cat dan cepat kering). Hanya saja bensin tidak berfungsi jika digunakan untuk pengencer cat warna emas. Untuk cat warna emas, solusinya memang harus beli tiner kalengan (kualitas baik) agar cat emas yang mengental bisa menjadi encer.

Sampul Novel yang Kreatif

Tiap hari Minggu penulis bersama anak-anak dan istri main ke mal, pasti kami menyempatkan mampir ke toko buku (biasanya Gramedia). Sekedar melihat-lihat koleksi buku, jika ada yang bagus, tentu kami beli. Begitu juga anak-anak. Hampir tiap mampir, ada saja buku yang dibeli. 

Beberapa waktu lalu, penulis melihat 4 novel tetralogi karya Djenar Maesa Ayu: Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), Nayla, dan Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek. Sampul buku (cover) keempat novel ini menarik minat penulis. Dan kebetulan pihak toko buku menyusunnya berurutan sehingga keempat sampul buku tersebut membentuk sebuah gambar utuh. Kreatif!

Yang ingin melihat sampul keempat novel tersebut, silakan lihat foto di bawah ini. 


 Novel tetralogi karya Djenar Maesa Ayu


Penulis juga pernah mencetak buku dengan sampul buku yang unik seperti ini ("Buku Tanpa Judul" dan "1001") yang kemudian mendapat penghargaan berupa piagam rekor dari Muri (Museum Rekor dunia Indonesia) . 

Siapa tahu setelah melihat keempat sampul depan novel ini, penulis dan juga Anda mendapat inspirasi membuat hal-hal unik dan kreatif, tak hanya sebatas sampul buku. 



Yang Mengadu dan Diadukan, Mana yang Jujur???

Dalam banyak kasus kita dihadapkan pada pilihan, mana yang jujur? Misalkan pada kasus korupsi, si A mengaku memberikan uang ke si B. Saat dikonfirmasi, si B mengatakan kenal saja tidak. Tidak pernah bertemu atau sekedar berkomunikasi via telepon atau SMS atau BBM. 

Jika ada 2 pernyataan yang bertentangan, menurut penulis, kemungkinannya adalah: salah satunya berbohong. Si A atau si B yang tidak jujur alias berbohong? Kita tidak bicara mana yang benar dan salah. Karena dalam kasus perselingkuhan, kemungkinan kedua belah pihak punya kontribusi dalam perbuatan itu dan keduanya bersalah (seks pranikah atau juga selingkuh).

Dalam tulisan ini, penulis fokuskan pada kasus hubungan pria dan wanita. Seringkali muncul ke publik, seorang wanita mengaku hamil dan minta pertanggungjawaban seorang pria (yang penulis bahas adalah kasus para public figure).

Sebelum mengarah pada logika berpikir penulis menarik kesimpulan, mana yang jujur, ini analisa awal penulis. 

Kita sudah sama tahu bagaimana hukum di negeri ini. Masih sering sekali terjadi, pihak yang salah bisa menang, pihak yang benar menjadi pihak yang kalah. Bisa karena uang, bisa juga plus kekuasaan.

Hukuman bisa disesuaikan dengan uang yang sanggup diberikan kepada penegak hukum. Bisa dinyatakan tidak bersalah, hukuman yang relatif ringan, sampai fasilitas istimewa ketika dinyatakan bersalah dan dipenjara. 

Dengan mengetahui fakta tadi, penulis beranggapan jika seorang wanita (karena biasanya wanita yang mengungkapkan/ mengadukan kasus ini karena merasa dirugikan) "waras" saat memutuskan untuk mengungkapkan kasus ini, wanita inilah yang jujur.

Mengapa penulis sampai pada kesimpulan ini? Anda yang benar pun (punya bukti yang menguatkan pun), jika berhadapan dengan kekuatan uang dan kekuasaan, belum tentu menang. Apalagi jelas-jelas itu sebuah kebohongan!

Jadi, kalau wanita ini "waras" ("waras" di sini bukan berarti tidak gila, tapi sudah menghitung peluang untuk menang saat melawan public figure) besar kemungkinan wanita inilah yang jujur. Jujur di sini hanya sebatas dia mengatakan pria X yang dituduhnya tidak bertanggung jawab tersebut, memang benar adalah pria X.  Fakta lain masih mungkin bohong, misal tidak pernah memberi nafkah dan hal-hal lain. Jujur di sini hanya fokus bahwa yang dituduh menghamili dan tak bertanggung jawab adalah pria X. Sedangkan pria X yang dituduh, umumnya berkelit dan bilang tidak kenal, biasanya adalah yang tidak jujur alias berbohong.

Mengapa logika berpikir seperti itu? Tuduhan melakukan perselingkuhan atau seks pranikah tentu sebuah aib baginya dan keluarga besarnya. Berita ini muncul di acara gosip ataupun berita, tentu sebuah aib yang harus segera diklarifikasi, bukan dibantah saja.

Andai Anda yang jadi pria tersebut, mungkinkah Anda (sebagai public figure yang punya reputasi baik dan punya kekuatan uang atau kekuasaan) hanya mengeluarkan ucapan: "Saya tidak kenal dengan wanita itu. Kenal saja tidak, apalagi punya hubungan sampai dia hamil dan seterusnya..."

Saya yakin, pernyataan Anda (jika benar Anda tidak kenal dan tidak punya hubungan khusus apalagi sampai mengakibatkan wanita itu hamil) dan bosan dikejar-kejar wartawan untuk berita tidak penting dan merusak nama baik Anda dan keluarga besar Anda, "Silakan bawa wanita tersebut ke sini. Suruh dia bawa foto atau rekaman kedekatan kami. Undang pakar telematika untuk meneliti foto dan video tersebut. Setelah itu, jika anak itu sudah lahir, silakan tes DNA dan saya bersedia dikonfrontir kapan saja dia mau. Masyarakat luas boleh hadir di acara ini, bila perlu siaran langsung di media televisi."

Penulis pikir, pernyataan seperti itu jauh lebih tepat daripada membantah tidak kenal, tidak punya hubungan khusus, tidak perlu menanggapi pernyataan wanita itu, dan lain-lain.

Jika Anda tidak bersalah (memang benar tidak bersalah dan tidak kenal apalagi punya hubungan intim dengan wanita tersebut), mengapa seperti berbalas pantun di infotainmen? Mengapa membiarkan keluarga besar dam nama baik Anda tercemar dan membuat keluarga besar Anda direpotkan dengan pemberitaan ini? Ini jelas pemberitaan negatif. 

Tantang balik, ikuti prosedur tes DNA dan apa pun untuk membuktikan Anda tidak bersalah. 

Secanggih apa pun teknologi, andai ada foto dan video yang dikeluarkan si wanita, saya yakin pakar telematika bisa mengetahui asli tidaknya barang bukti itu. 

Dengan logika berpikir seperti ini, sebagian besar analisa penulis benar. Masa' Anda senang dan membiarkan orang lain merusak reputasi Anda dan membuat keluarga besar Anda pun terkena getahnya?

Logika lain: Berani karena benar! Jika Anda benar, sampai ke mana pun Anda dan apa pun tantangannya, pasti Anda berani. Apa pun tantangannya (termasuk sumpah pocong, sumpah kuntilnak, sumpah genderuwo,...), penulis yakin jika Anda benar, pasti Anda terima tantangan itu!

Penulis berpikir, "luar biasa gilanya" jika seorang wanita yang tidak kenal dan tak punya hubungan intim dengan seorang pria public figure tiba-tiba muncul dan mengaku hamil atau melahirkan anak akibat hubungan intim dengan public figure yang tak pernah dikenal dan tak punya hubungan apa pun. 

Hal itu benar dan Anda punya bukti pun, Anda masih sangat mungkin kalah. Apalagi membuat cerita khayalan tanpa bukti. Anda bisa dipenjara, disuruh minta memasang iklan permintaan maaf di media masa nasional, dan lain-lain.

Silakan analisa berita di bawah ini (mana yang jujur, mana yang tidak):

  1. Diterpa Isu Wanita Siri, Rektor IPDN Mundur
  2. Cut Tari Mengaku, Ariel Membantah 

Agar Anda Tidak Perlu Menagih Hutang

Seorang teman curhat, teman yang berhutang padanya sulit dihubungi (seolah terus menghindar) dan tidak mau membayar hutang. Dia harus bagaimana?

Tidak banyak hal yang dapat dilakukan. Berusaha menagih bila bertemu. Lalu doakan agar usahanya sukses dan  semoga tergerak hatinya untuk membayar. Penulis pun pernah mengalami hal yang sama.

Langkah yang paling baik menurut penulis adalah seperti kata pepatah "Mencegah lebih baik daripada mengobati." Biar tidak repot menagih hutang dan biasanya selain berakhir dengan kehilangan uang (hutang tidak dibayar, juga akan kehilangan teman).

So... agar tidak susah menagih hutang plus kehilangan teman, sebaiknya tidak meminjamkan uang Anda jika tidak yakin teman Anda tersebut orang yang bisa memegang janji. Anda tidak perlu repot menagih hutang (karena teman Anda memang tidak berhutang pada Anda).  

Sama halnya dengan lahan kosong yang Anda biarkan ditempati orang lain (entah memang tanah kosong, depan rumah Anda, depan toko Anda, dan lain-lain). Baca juga: Cara Mudah Punya Rumah juga Ruko & Lebih Baik Mengobati.

Anda bisa baca beritanya di koran atau melihat berita tentang hal ini di TV. Setiap akan pengosongan lahan (pembongkaran lapak PKL) dan sejenisnya. Jangankan Anda sebagai orang biasa, pemerintah pun sulit mengambil kembali haknya yang sudah terlanjur dipakai pihak lain.

Misalkan ada lahan kosong milik salah satu instansi pemerinitah. Awalnya ada 1 yang menggunakannya untuk berjualan dengan sebuah etalase atau gerobak kecil. Jika tak ada larangan/ teguran, perlahan dan pasti akan diikuti yang lain. Mulai dari etalase kecil/ gerobak ekcil, area berjualan mulai diperluas, awalnya etalase/ gerobak bisa dipindah, lalu dirantai, lalu semi semi permanen, permanen (termasuk tempat tinggal permanen), hingga plus fasilitas listrik.

Ketika Anda merasa keberatan (atau pemerintah akan memakai lahan tersebut)?  Rasanya belum ada cerita mereka akan pindah dengan sukarela. Selalu berakhir dengan ricuh dan penundaan eksekusi. Di mana-mana sama saja.

Jangan bicara fakta hukum, Anda pemilik lahan. Sekian lamanya lahan Anda digunakan tanpa bayar sewa, seharusnya saat mereka diminta pindah, mereka secara baik-baik akan pindah dan mengucapkan terima kasih. Tapi rasanya itu hal yang mustahil. 

Mereka akan bilang sudah menggunakan tempat tersebut sekian lama, itu sudah jadi milik mereka. Kalau pun mereka akhirnya mau pindah (entah karena negosiasi atau ada aparat hukum yang akan melakukan eksekusi), pihak pemilik lahan "harus" bayar ganti rugi. Setelah bayar ganti rugi, barulah mereka akan pindah.

Ini sudah merupakan hal yang sangat umum terjadi. Jika Anda tidak ingin mengalami hal yang sama, pencegahan adalah hal terbaik. 

Pengamatan penulis soal PKL di trotoar jalan di berbagai kota, selalu sama. Pemerintah tidak bertindak tegas. Saat ada 1 atau 2 orang berjualan di trotoar atau di pinggir jalan, atau di fasilitas umum (lapangan, dekat rel kereta api,...) tidak dilarang. Bahkan anehnya, ada oknum yang akan memungut retribusi. 

Nanti saat ada keperluan (jalanan macet atau ada tamu negara) sehingga jalanan harus dibersihkan, bersiaplah "perang" dengan PKL. Hal ini selalu terulang saat akan penertiban PKL atau eksekusi lahan.

"Mencegah lebih baik daripada mengobati" begitu teorinya, tapi tidak banyak yang mempraktikkan hal ini untuk urusan PKL atau "lahan tidur." Kericuhan selalu terulang setiap penertiban.

Bagaimana agar Anda tidak perlu menagih hutang? Jalan terbaik, jangan memberi hutang!
abcs