Hachiko, Kesetiaan Tanpa Batas Seekor Anjing

Film Hachi - A Dog’s Tale adalah sebuah film drama Amerika 2009 yang disadur ulang dari film Jepang produksi 1987, Hachikō Monogatari yang dibintangi oleh Nakadai dan film tersebut pernah menggemparkan Jepang, dan mencetak rekor penjualan tiket sebesar 4 milyar Yen.

Seekor anjing setia Hachiko adalah sebuah kisah nyata yang terjadi pada 1924 di Jepang. Hachikō, anjing ras Akita, oleh tuannya Ueno Hidesa-buro dibawa pindah ke Tokyo. Ueno adalah profesor jurusan ilmu pertanian di Universitas Tokyo. Setiap pagi Hachikō selalu berada di depan pintu rumah mengantar keberangkatan Ueno ke kantor, dan senja harinya ia berlari ke Stasiun KA Shibuya menyambut kedatangan tuannya dari kantor.

Kebahagiaan dan kebersamaan mereka terus berlangsung hingga 1925. Pada suatu malam, Ueno tahu-tahu tidak pulang seperti biasanya, ia mendadak terserang stroke di universitas dan tidak tertolong lagi. Sejak itu ia tak pernah kembali ke stasiun kereta api di mana temannya si Hachikō tetap setia menunggu.

Sepeninggal Ueno Hidesaburo, Hachikō dipelihara oleh Kobayashi Kikusaburo, namun Hachikō seringkali melarikan diri dari rumah Kobayashi dan secara rutin kembali ke tempat tinggalnya yang lama. Hachikō tidak mengetahui kalau tuannya telah meninggal.

Setelah berkali-kali kecewa, ia mulai menyadari tuannya sudah tak tinggal di rumah lama itu lagi. Maka ia berlari ke Stasiun Shibuya, karena teringat dahulu selalu menjemput tuannya pulang dari kantor di tempat itu. Setiap hari, ia berdiam menanti kedatangan Ueno Hidesaburo, akan tetapi setiap hari ia selalu pulang dengan kecewa, tak menemukan tuannya di antara kerumunan penumpang.

Hal itu berlangsung selama 10 tahun. Hachikō selalu muncul tepat waktu di stasiun setiap senja dan menanti KA merapat di peron. Suatu ketika, seorang murid Ueno Hidesaburo menemukan Hachikō di stasiun itu dan mengikutinya kembali ke rumah Kobayashi.Dari cerita Kobayashi ia mengetahui kisah Hachikō. Tak lama kemudian, murid itu mempublikasikan artikel tentang anjing ras dari Kabupaten Akita dan di dalam laporan itu tercakup kisah tentang Hachikō.

Pada 1932, artikel tersebut dimuat di sebuah surat kabar terbesar di Tokyo, maka seketika Hachikō mencuri perhatian seluruh masyarakat Jepang. Kesetiaan terhadap tuannya telah mengharukan rakyat Jepang. Para guru dan wali murid menjadikan Hachikō sebagai contoh kesetiaan terhadap keluarga dalam mendidik anak, ia telah mengajarkan kepada masyarakat mengenai cinta dan kesetiaan tulus yang pantang menyerah. Mereka menyebutnya “Anjing setia.”

Pada April 1934, warga setempat mendirikan patung tembaga Hachikō di depan Stasiun Shibuya. Hachikō sendiri juga menghadiri acara pembukaan patung tersebut. Di kemudian hari, pintu masuk stasiun yang ada di dekat patung tembaga tersebut dinamakan “Pintu masuk Hachikō.

Dalam film produksi AS yang berjudul Hachi - A Dog’s Tale itu, latar belakang dan tahun kejadiannya disesuaikan dengan zaman sekarang serta mengambil lokasi di AS. Film ini disutradarai Lasse Hallström (peraih penghargaan emas untuk filmnya Passion Venesia), ditulis oleh Stephen P. Lindsey dan dibintangi aktor kondang Richard Gere yang memerankan sang profesor.

Rasanya sulit sekali untuk tidak menitikkan air mata ketika menonton film ini. Penantian selama 10 tahun, bagi seekor anjing, adalah penantian seumur hidupnya. Kesetiaan dan penantian terhadap tuannya begitu tulus dan sederhana. Andaikata si anjing-setia itu berharap memperoleh suatu imbalan, maka hanyalah berupa perjumpaan kembali dengan tuannya.

Persis seperti pada ending cerita, di mana salju turun di malam hari, sang anjing-setia yang sudah menua sedang berbaring di tempat tak jauh dari pintu masuk stasiun. Ia perlahan-lahan menutup kedua matanya. Dalam penantian sebelum ajal, sang tuan mendadak muncul dari pintu masuk stasiun, lalu ia berlari menubruk tuannya.

Perjumpaan adalah takdir pertemuan, tidak hanya antara manusia, namun juga antara manusia dengan anjing. Setelah si profesor di stasiun memungut kembali si anjing setia Hachikō yang tercampakkan: kesetiaan, kasih dan kerinduan adalah segalanya bagi anjing-setia Hachikō. Kesetiaan tulus dan kasih yang teguh semacam ini mirip dengan tindakan balas budi.

Saya mengusap air mata haru dan dalam sekejab menyadari, barangkali bukan sepenuhnya disebabkan oleh kisah Hachikō itu sendiri, tetapi lebih karena di dalam umat manusia dan masyarakat realita zaman sekarang, hilangnya kesetiaan dan kasih – kefanaan dan ketakberdayaan – tuntutan pendambaan nurani manusia terhadap kesetiaan, kasih, kepercayaan, kepedulian dan perlindungan, telah membuat saya terharu dan tercenung. (Xia XiaoQiang/The Epoch Times/whs)

Sumber cerita: Epoh Times, foto: LingkupaTautan
Ingin membaca lebih jauh tentang Hachiko, silakan klik ini: Blogger Berita, Oase Kompas, Wikipedia.




Jangan Mengambil Keputusan Saat Emosi



Dikisahkan, di sebuah dusun tinggallah keluarga petani yang memiliki seorang anak yang masih bayi. Keluarga ini memelihara seekor anjing yang dipelihara sejak masih kecil. Anjing itu pandai, setia, dan rajin membantu si petani. Dia bisa menjaga rumah bila majikannya pergi, mengusir burung-burung di sawah, dan menangkap tikus yang berkeliaran di sekitar rumah mereka. Si petani dan istrinya sangat menyayangi anjing tersebut. 

Suatu hari, si petani harus menjual hasil panennya ke kota. Karena beban berat yang harus di bawanya, dia meminta istrinya ikut serta untuk membantu, agar secepatnya menyelesaikan penjualan dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Bayi mereka yang ditinggal sedang tertidur lelap di ayunan dan dipercayakan di bawah penjagaan anjing mereka. 

Menjelang malam setiba di dekat rumah, si anjing berlari menyongsong kedatangan majikannya dengan menyalak keras berulang-ulang, melompat-lompat, dan berputar-putar, tidak seperti biasanya. Suami istri itu pun heran dan merasa tidak tenang menyaksikan ulah si anjing yang tidak biasa. Dan betapa kagetnya mereka, setelah berhasil menenangkan anjingnya. Astaga, ternyata moncong si anjing berlumuran darah segar.

"Lihat Pak! Moncong anjing kita berlumuran darah! Pasti telah terjadi sesuatu pada anak kita!" teriak si ibu histeris, ketakutan, dan mulai terisak menangis. "Hah? Kurang ajar kau anjing! Kau apakan anakku? Pasti telah kau makan!" si petani ikut berteriak panik. 

Dengan penuh kemarahan, si petani spontan meraih sebatang kayu, secepat kilat memukuli anjing itu dan mengenai kepalanya. Anjing itu terdiam sejenak. Tak lama dia menggelepar kesakitan, memekik perlahan, dan dari matanya tampak tetesan air mata, sebelum kemudian ia terdiam untuk selamanya. Bergegas kedua suami istri itu pun berlari ke dalam rumah. Begitu tiba di kamar, tampak anak mereka masih tertidur lelap di ayunan dengan damai. Sedangkan di bawah ayunan tergeletak bangkai seekor ular besar dengan darah berceceran bekas gigitan.

Mereka pun segera sadar bahwa darah yang menempel di moncong anjing tadi adalah darah ular yang hendak memangsa anak mereka. Perasaan sesal segera mendera. Kesalahan fatal telah mereka lakukan. Emosi kemarahan yang tidak terkendali telah membunuh anjing setia yang mereka sayangi. Tentu, penyesalan mereka tidak akan membuat anjing kesayangan itu hidup kembali. 

Begitu banyak permasalahan, pertikaian, perselisihan bahkan peperangan, muncul dari emosi yang tidak terkontrol. Karena itu, saya sangat setuju dengan pesan, "Jangan mengambil keputusan apa pun di saat emosi sedang melanda." Sebab, bila itu yang dilakukan, bisa fatal akibatnya. Sungguh, kita butuh belajar dan melatih diri agar di saat emosi, kita mampu mengendalikan diri secara sabar dan bijak. 

Sumber: Indowebster

Sumber foto: Ayunan, Anjing

Sebuah Kisah "Pertolongan Tanpa Pamrih"

Penumpang yang kehujanan malam itu, pukul setengah dua belas malam. Seorang wanita negro rapi yang sudah berumur sedang berdiri di tepi jalan tol Alabama. Ia nampak mencoba bertahan dalam hujan yang sangat deras yang hampir seperti badai. Mobilnya kelihatannya lagi rusak, dan perempuan ini sangat ingin menumpang mobil. Dalam keadaan basah kuyup, ia mencoba menghentikan setiap mobil yang lewat. Mobil berikutnya dikendarai oleh seorang pemuda bule, pemuda ini berhenti untuk menolong ibu ini. Kelihatannya si pemuda bule ini tidak paham akan konflik etnis tahun 1960-an, pada saat itu.

Pemuda bule ini akhirnya membawa si ibu negro selamat hingga suatu tempat, untuk mendapatkan pertolongan, lalu mencarikan si ibu ini taksi. Walaupun terlihat sangat tergesa-gesa, si ibu tadi bertanya tentang alamat si pemuda itu. Pemuda itu menulisnya, lalu mengucapkan terima kasih pada si pemuda.

Tujuh hari berlalu, dan tiba-tiba pintu rumah pemuda bule ini diketuk seseorang. Kejutan baginya, karena yang datang ternyata kiriman sebuah televisi set besar berwarna (1960-an) khusus dikirim ke rumahnya. Terselip surat kecil tertempel di televisi, yang isinya adalah :

“Terima kasih Nak, karena membantuku di jalan tol malam itu. Hujan tidak hanya membasahi bajuku, tetapi juga jiwaku. Untung saja Anda datang dan menolong saya. Karena pertolongan Anda, saya masih sempat untuk hadir di sisi suamiku yang sedang sekarat… hingga wafatnya. Tuhan memberkati Anda, karena membantu saya dan tidak mementingkan dirimu pada saat itu.”


Tertanda,
Ny. Nat King Cole

Catatan:
Nat King Cole, adalah penyanyi negro terkenal tahun 60-an di USA. Nat King Cole (ayah Natalie Cole) meninggal 15 Februari 1965.

Sumber: I Love Blue

Ciuman Maut Liu Mampu Luluhkan Niat Bunuh Diri Pemuda Cina

Sebelumnya penulis mengutip berita penyelamatan bocah yang jatuh dari lantai 8, hari ini penulis membaca berita inspiratif lagi dari Yahoo News, juga dari Cina. Hanya dari kota yang berbeda, sebelumnya dari Beijing, yang kali ini dari Shenzen.

Salut buat tindakan cepat, keberanian dan rasa empati Liu Wenxiu pada sesama. Baca nih kisahnya...

* * * * *

Republika. Shenzen, Liu Wenxiu mendadak populer di Cina. Gadis 19 tahun ini berhasil menggagalkan upaya bunuh diri yang dilakukan seorang pemuda dengan ciuman mautnya.

Ceritanya, hari itu dia pergi berbelanja bersama teman-temannya ke sebuah pusat perbelanjaan ramai di Shenzhen, Provinsi Guangdong. Saat tengah makan di sebuah restoran, mereka menemukan kerumunan pengunjung mal. Rupanya, mereka tengah menonton seorang pemuda yang hendak mengiris lehernya dan terjun dari ketinggian.


Liu melihat, tak seorangpun yang berusaha membujuk sang pemuda. Bahkan, polisi di sekitarnya pun hanya berjaga-jaga saja.

Liu berlari mendekat. Polisi menghalanginya.

Tak kehilangan akal, ia mengaku sebagai pacar sang pemuda, dan pemuda itu hendak bunuh diri karenanya. Padahal, itu hanya cerita karangan Liu saja. "Saya hanya ingin mendekat padanya, mengajak bicara, dan syukur-syukur dia mengurungkan niatnya," katanya.

Ia mendekat. Dari obrolan, diketahui pemuda itu putus asa karena keluarganya berantakan. Sebagai anak hasil broken home, ia memahami perasaan sang pemuda. Mereka pun terlibat dialog.

Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas hati pemuda itu makin melunak. Liu kemudian berjalan perlahan mendekatinya, merangkulnya, dan kemudian menciummnya. Sang pemuda menjatuhkan pisau, dan membiarkan petugas pemadam kebakaran membantunya melompati pagar, menyelamatkan dirinya.

Apa yang mereka perbincangkan? Liu tutup mulut. "Ceritanya menyentuh saya. Tapi tiba-tiba saya merasa saya sangat memahaminya dan serasa saya adalah pacarnya," ujarnya, tersipu. So Sweet!












Sumber foto: F-Paper


Di bawah ini foto dari sumber lain
(plus foto wawancara dengan Liu Wenxiu, sang penyelamat)

















Sumber foto: I am in China




Mari Bercermin dari Foto-foto Ini...

Konon manusia adalah makhluk yang paling tinggi kedudukannya di muka bumi ini. Manusia punya otak yang bisa digunakan untuk memutuskan mana yang baik, mana yang buruk. Mana yang sebaiknya dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan. Bukan seperti hewan/ binatang yang bertindak berdasarkan naluri atau insting belaka.

Lihatlah manusia yang memutuskan berperang dan membunuh untuk mendapatkan keinginannya. Sebaliknya binatang yang "kodrat-nya" bermusuhan seperti anjing dan kucing atau tikus dan kucing pun bisa rukun.





Jatuh dari Lantai Delapan, Bocah Selamat

Berita ini mengingatkan kita, para orang tua agar lebih berhati-hati menjaga buah hati kita. Ini penulis kutipkan berita dari Yahoo News tentang kejadian di Beijing, Cina tersebut.

Warga Beijing, Cina, pada Rabu (22/6) melakukan penyelamatan dramatis terhadap seorang bocah yang terjatuh dari balkon dan terjepit di belakang mesin pendingin udara.

Bocah berumur 3 tahun itu meluncur jatuh dari balkon rumahnya di lantai 8, dan secara ajaib tersangkut ke balik mesin pendingin udara yang terpasang di dinding lantai 7. Warga yang mendengar teriakan si bocah itu pun terkejut bukan main ketika melihatnya terjepit dengan kaki menggantung.

Orang tua si bocah sedang tidak berada di rumah pada saat kejadian.

Warga dilaporkan segera memanggil polisi namun karena melihat tubuh bocah itu pelan-pelan melorot, mereka cemas waktunya tidak akan cukup.


Foto, detik-detik penyelamatan bocah yang terjatuh dari lantai 8:


Seperti terlihat dalam foto, dua warga pun bekerja sama menyelamatkan bocah itu.

Salah seorang dari mereka - seorang pedagang kelontong - mengambil risiko berdiri di tepi balkon dengan dipegangi seorang lain. Dia berhasil menggapai bocah itu dan mengeluarkannya dari sela-sela dinding dan mesin pendingin udara.

Bocah itu pun dipeluk warga untuk merayakan keberhasilan penyelamatan yang dramatis itu.



Gaya Menyingkat Kata dalam Berbicara

Banyak sekali singkatan kata yang terus bermunculan, dari yang serius dan diakui dalam bahasa Indonesia, sampai singkatan yang hanya dipakai dalam percakapan lisan sehari-hari.

Tapi apa yang dikatakan rekan penulis, bukan soal singkatan baru/ akronim baru. Tapi gaya menyingkat kata rekan-rekannya dalam berbicara. "Aneh" kata rekan penulis.

"Aneh bagaimana?" tanya penulis. Saya pernah bertemu beberapa teman lama (teman SMA). Waktu ngobrol, ada yang mengatakan "Di perusahaan saya, tidak ada yang namanya seragam kerja." Teman yang lain menimpali, "Di perusahaan saya, kalau datang terlambat tidak ada pemotongan gaji." Semua saling memuji perusahaan mereka yang lebih berpihak kepada karyawan.

Semula saya minder. Luar biasa, sekarang teman-teman lama saya sekarang jadi pengusaha sukses semua. Sudah punya perusahaan sendiri, bukan seperti saya yang masih jadi karyawan. Tapi setelah saya selidiki, eh... ternyata, mereka sama saja dengan saya. Mereka juga masih jadi karyawan seperti saya.

Cuma gaya mereka berbicara yang membuat saya sempat minder. Seharusnya mereka bilang "Di perusahaan tempat saya bekerja, kalau datang terlambat tidak ada pemotongan gaji." Tapi waktu bicara, mereka menyingkatnya menjadi ""Di perusahaan saya, kalau datang terlambat tidak ada pemotongan gaji."

Penulis hanya tersenyum lalu berkata "Saya juga sering mengalami hal yang sama."

Adakah yang Aneh?



Ketika berbelanja di salah satu pasar swalayan, penulis merasa bingung membaca pengumuman di brosur swalayan itu pada halaman terakhir. Di sana tertera tulisan: "beli 2 lebih hemat" "jatuhnya Rp 6.900/ botol" dan "harga beli satuan Rp 5.950/ botol."

Yang penulis tangkap dari brosur itu seperti ini:
  1. Harga beli satuan Rp 5.950 (harga kalau Anda beli 1 botol)
  2. Beli 2 lebih hemat (artinya ada potongan harga/ discount)
  3. Bila beli 2 harga per botolnya jadi Rp 6.900
Ini yang aneh. Beli 2 lebih hemat tapi kenyataan-nya harga per botol justru jadi lebih mahal. Penulis coba tanya ke pramuniaga. Dia juga bingung, dia tanya temannya, temannya juga bingung. Penulis coba tanya lagi yang lain, pramuniaga ini coba tanya ke temannya. Akhirnya dia mengatakan "Pak, kalau beli 1 harganya Rp 6.900, kalau beli 2, maka harga per botol jadi Rp 5.950." Logikanya benar, beli banyak harga satuannya jadi lebih murah (tapi tidak sesuai dengan kalimat yang tertera di brosur). Padahal di tempat minuman itu dipajang, jelas-jelas tertera tulisan besar Rp 5.950/ botol.

Penulis beli 2 botol, di struk tertera harga per botol Rp 5.950 lalu di bagian bawah ada potongan Rp 3.100 untuk 2 botol (artinya ada discount Rp 1.550/ botol sehingga harga per botol jadi Rp 4.400).

Jadi yang tertera di brosur memang ada kesalahan cetak. Seharusnya: jatuhnya Rp 4.400 per botol. Pramuniaga yang menjelaskan: "Pak, kalau beli 1 harganya Rp 6.900, kalau beli 2, maka harga per botol jadi Rp 5.950" menurut penulis juga salah menafsirkan kalimat yang tertulis di brosur.

Jelas di sana tertulis: harga beli satuan Rp 5.950 per botol (ini dalam bahasa pergaulan sehari-hari diartikan jika kita hanya beli 1 botol, itulah harga yang berlaku). Jatuhnya Rp 6.900/ botol (penggunaan kata "jatuhnya" ini menunjukkan setelah dihitung-hitung karena ada sesuatu misalnya beli banyak dan ini dipertegas dengan tulisan di atasnya "beli 2 lebih hemat).

Bagaimana menurut Anda?

Mari Korupsi Sejak Dini...

Busyet... judulnya kok begitu? Apakah Anda akan mengajarkan teknik korupsi? Atau Anda seorang koruptor kelas kakap yang akan membagikan ilmu Anda?

Ehm... semuanya tidak. Biasalah... judul hanya untuk menarik perhatian. Penulis hanya menuliskan pengamatan yang terjadi di sekitar penulis.

Mendengar kata korupsi, asosiasi kita tentu tertuju pada uang. Tapi sebenarnya kecurangan ini tak melulu soal uang, tapi memang kalau ditarik, ujungnya memang uang juga. Kita pernah mendengar istilah korupsi waktu. Memang yang dikorupsi bukan uang, tapi ujungnya juga uang.

Karyawan swasta atau pegawai negeri yang keluyuran pada jam kerja atau melakukan hal di luar kerja kantor padahal masih jam kantor. Dari yang ringan seperti asyik dengan BB (BlackBerry) alias asyik ber-BBM sampai yang serius menggunakan waktu kerja untuk keperluan (bisnis) pribadi.

Ini beberapa korupsi kecil-kecilan yang penulis temukan:
  1. Sejak lihat tayangan reportase investigasi tentang kecurangan pedagang dengan timbangannya. Memang benar, timbangan yang digunakan tidak pernah dibiarkan dalam keadaan kosong salah satu sisinya. Pasti di sisi tempat anak timbangan, ada saja benda yang ditaruh di sana. Mengapa? Kalau dibiarkan kosong, pasti ketahuan dari awal sisi tempat barang yang ditimbang dengan tempat anak timbangan tidak seimbang.
  2. Waktu nonton film atau masuk ke tempat wisata, biasanya tiket kita disobek sebagian (sebagian untuk penjaga, sebagian untuk kita). Sistem ini untuk menghitung berapa orang yang masuk. Tapi berkali-kali penulis menemukan penjaga yang curang. Caranya? Ketika penulis memberikan tiket, tiket penulis langsung dilipat dan disembunyikan di bawah sobekan tiket lain di tangannya, lalu mengambil bekas sobekan tiket orang sebelumnya lalu sobek sedikit dan diberikan kepada penulis. Ketika penulis komplain, dia lebih galak. Suruh penulis cepat-cepat pergi karena di belakang penulis banyak orang yang antri. Tiket yang utuh ini nanti diberikan kepada temannya untuk dijual lagi.
  3. Waktu penulis membeli minuman ringan bersoda di warung (pelayannya anak kecil). Penulis ditanya apakah akan diminum di sini atau diplastik? Penulis bilang diplastik. Anak itu langsung botol dan menuangkannya ke plastik, lalu menaruh botol kosongnya di etalase. Karena curiga dengan gerak-geriknya, penulis melihat ke etalase yang membatasi penulis dengan anak kecil itu. Memang botol itu agak tertutup barang dagangan lain, tapi jelas terlihat, botol tadi belum kosong!

Melintasi Masa, Mengenang Semua (Bagian 4)

Bagi yang suka musik, tentu tak asing dengan kaset yang biasa disetel di tape recorder atau walkman (yang praktis bisa dibawa ke mana saja karena kecil dan menggunakan tenaga batere). Sampai sekarang, kaset masih ada, tapi juga disertai produk yang lebih baru: CD.

Ternyata kaset (media penyimpanan data biasanya berupa lagu), bukanlah media awal penyimpan lagu. Awalnya media penyimpan lagu ini berupa piringan hitam (biasa disingkat PH), yang disetel/ dioperasikan dengan alat bernama gramaphone.

Meski tidak pernah memiliki secara langsung, penulis sempat melihat dan mendengar langsung instrumentalia dan lagu dari piringan hitam milik kakek dan paman penulis. Yang paling akrab dengan piringan hitam adalah profesi DJ (Disc Jockey).

Setelah piringan hitam, muncul kaset yang lebih simpel (kecil dan praktis dibawa dan disimpan). Setelah itu muncul Laser Disc atau dikenal dengan singkatan LD. Laser Disc mirip dengan piringan hitam, hanya saja warnanya putih perak (mirip CD sekarang namun ukurannya sebesar piringan hitam). Seingat penulis, di antara media yang lain, usia Laser Disc yang paling singkat masa jayanya.

Dari LD beralih ke CD yang kita kenal sekarang, tapi hebatnya kaset digunakan masih ada hingga sekarang. Yang paling penulis ingat dari kaset adalah pitanya sering kusut di dalam tape recorder. Setelah dikeluarkan, pita kasetnya tidak rapi. Bahkan tidak jarang pitanya rusak parah. Solusinya: buang bagian pita yang rusak parah (guting), lalu sambung dengan kuteks (cairan bening pelapis kuku). Tapi jadinya lucu, lagunya bisa loncat karena ada bagian pita yang sudah terpotong.

Berikut gambar-gambarnya.




Laser Disc (yang kecil CD)


Laser Disc Player
(di atas laser disc player ada CD, bandingkan ukurannya dengan LD)

Ternyata Penulis Sudah Jadi Seorang Kakek

Kakek? Opa? Bagaimana perasaan Anda dipanggil dengan sebutan “Kakek”? Wow... rasanya sudah tua sekali. Mungkin usia Anda sudah kepala 5 atau lebih?

Kalau penulis? Ah... belum terlalu tua. Usia baru masuk kepala 4! Cuma kemarin baru sadar kalau penulis ternyata sudah jadi kakek setelah seorang teman istri yang menulis di Facebook istri bahwa cucu Linda (Linda nama istri penulis), ternyata muridnya. Teman istri penulis ini seorang guru TK.

* * * * * * * * * * *

Dulu waktu kecil, penulis merasa “aneh” pada seorang teman yang lebih kecil daripada penulis (sekitar kelas 3 SD) sudah dipanggil paman. Usia paman dan keponakan tidak berselisih jauh (paling beda 1-2 tahun).

Tidak heran sih. Dulu orang menikah di usia muda dan biasanya punya anak banyak (bisa belasan anak). Saat anak tertua sudah menikah, si ibu masih melahirkan anak lagi!

Dari keluarga istri penulis (bukan saudara langsung sih), terjadi kasus serupa. Maka tidak heran, kalau sekarang penulis sudah harus dipanggil Opa dan istri penulis dipanggil Oma! Padahal biasanya penulis dipanggil Kak/ Ko atau “paling tua” dipanggil Pak.

Kalau dihitung dari lahirnya si cucu, maka di usia sekitar 35 tahun (saat si cucu lahir), penulis sudah berstatus kakek. Wow... sekarang status penulis: anak, suami, ayah 2 orang putra, kakek 3 cucu.

Melintasi Masa, Mengenang Semua (Bagian 3)

Telpon:
Waktu kecil, penulis masih sempat menggunakan telpon engkol/ putar (di sisi kanan pesawat telpon ada alat putar seperti alat serut pensil). Telponnya berwarna hitam. Setelah diputar, maka di sentral telpon ada petugas yang mengangkat. "Selamat siang" maka kita yang akan menelpon bilang "Pak, tolong sambung ke nomor 121." Maka petugas akan menyambungkan. Setelah sekian lama, petugas akan memutuskan sambungan, kalau pembicaraan belum selesai, kita minta petugas menambungkan lagi. Nomor 121 dalah nomor telpon kakek penulis, sedangkan nomor telpon penulis 74. Ya hanya 2 digit!

Kemudian telpon beralih ke semi otomatis, begitu horn telpon diangkat, maka petugas di sentral telpon akan bertanya mau disambung ke nomor berapa.

Setelah itu telpon otomatis, kita sendiri yang memutar nomor tujuan. Ya, memutar karena angka-angka di telpon berbentuk lingkaran dan tepat di nomor tersebut ada lubang. Masukkan jari kita di lubang angka, lalu kita putar. Kalau nomor tujuan ada 5 digit, kita harus memutar 5 kali (putar ke arah kanan). dari sini baru berganti ke pesawat telpon dengan nomor yang dipijit/ dipencet seperti telpon dan ponsel/ HP sekarang.

Dulu kita hanya bisa menelpon dari rumah atau kantor yang ada telponnya (horn telpon tak bisa dibawa, harus terhubung dengan kabel ke pesawat telponnya). Lalu muncul telpon wireless (tanpa kabel). Horn telpon bisa dibawa tapi masih di sekitar pesawat telpon. Sekarang sudah era telpon tanpa kabel ponsel/ HP). Dari semula hanya untuk bicara jarak jauh, sekarang HP bisa menjalankan banyak sekali fungsi tambahan (jam, kalender, kalkulator, agenda pengingat, buku catatan nomor telpon, radio, TV, kamera, handycam, mp3, games, inteTautan
rnet, dan sebagainya).

Ini gambar evolusi pesawat telpon






Bagian pertama, silakan klik: Melintasi Masa, Mengenang Semua

abcs